http://heryfosil.blogspot.com/2012/08/memaknai-selikuran-21-ramadhan.html
Sebelum
membaca artikel ini sebaiknya kita sama-sama menghilangkan prasangka buruk atau
berfikir negatif tentang budaya. Fikiran yang sudah dirasuki pemahaman negatif
terhadap hubungan agama dan budaya takkan mampu menelaah pemikiran dan
pemahaman baru tentang sisi positif hubungan agama dan budaya.
Selikuran
(21 Ramadhan) menurut masyarakat jawa memiliki nilai/arti yang spesial. Tradisi malam selikuran (21 Ramadhan)
adalah tradisi budaya sekaligus religius (agama) yang syarat dengan makna.
Tentunya hal ini sangat istimewa, karena kita dapat melihat banyak nilai-nilai
positif yang ada dalam peringatan selikuran tersebut. Berikut beberapa analisa
positif “selikuran” baik di tinjau dari sudut pandang agama maupun budaya :
1. “Selikuran” 21 Ramadhan menurut ajaran
Islam dimaknai istimewa karena 21 Ramadhan menurut sejarah islam awal
Rasulullah Saw memulai beri’tikaf (I'tikaf dalam pengertian bahasa
berarti berdiam diri yakni tetap di atas sesuatu. Sedangkan dalam pengertian
syari'ah agama, I'tikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang
disunahkan untuk dikerjakan di setiap waktu dan diutamakan pada bulan suci
Ramadhan, dan lebih dikhususkan sepuluh hari terakhir untuk mengharapkan
datangnya Lailatul Qadr) di
sepuluh hari terkahir bulan Ramadan, Nabi Saw bersabda, "Carilah malam
Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan”
(Bukhari dan Muslim). Dan Imam Syafi’i berkata, “Menurut pemahamanku, Nabi Saw
menjawab sesuai yang ditanyakan, yaitu ketika ada yang bertanya pada Nabi Saw :
“apakah kami mencarinya di malam ini?, beliau menjawab: “carilah di malam tersebut”
(Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah). Dari sinilah dapat dipastikan bahwa tradisi
Selikuran memang terdapat perpaduan (sinkretisme) nilai-nilai Islam melalui
budaya Jawa, sehingga akhirnya tradisi ini dilestarikan oleh kerajaan Islam
pada masa itu, dan tetap bertahan hingga hari ini.
2. Budaya masyarakat Jawa “Selikuran”
diperingati dengan cara yang unik. Masyarakat Jawa memperingati “Selikuran”
dengan acara kenduri bersama-sama (Sebaiknya sebelum melanjutkan membaca dan
berkomentar tidak berfikir negatif dulu). Di dalam tradisi kenduri ini terdapat
beberapa nilai positif yang bisa kita ambil hikmahnya diantaranya :
a. Silaturahmi dan Kebersamaan ; masyarakat
Jawa melaksanakn kenduri dibalai pertemuan (balai desa, balai dusun, balai RW)
atau di rumah tokoh masyarakat / sesepuh. Kalau masyarkat yang tidak melakukan
kegiatan kenduri berapa kali setahun bisa bersilaturahmi dengan seluruh
tetangga satu padukuhan / RT / RW?
b. Bersedekah : Makanan yang telah
disiapkan dari rumah dikumpulkan jadi satu dan sebagian diberikan kepada ustadz
/ modin / kaum / tkoh masyarakat dan juga untuk takjil.
c. Berbagi rasa
: Kenduri yang dibuat pada peringatan selikuran ini menunya biasa (tidak dilebih-lebihkan)
hanya nasi, sayur Lombok, tahu, tempe, mie dan kupuk. Makanan sederhana ini
kemudian dikumpulkan jadi satu dan dicampur kemudian dibagikan lagi ke warga.
Banyak rasa dalam masakan jadi satu.
d. Doa Bersama
: diakhiri acara kenduri juga dilaksanakan doa bersama dengan cara islam. Doa
yang dipanjatkan untuk kelancaran puasa, harapan lailatul qodar, serta shalawat
untuk rasulullah.
3. Masyrakat
Jawa juga memperingati “selikuran” dengan cukur rambut (budaya ini memang sudah
jarang dilakukan, kecuali masyarakat jawa yang sudah berusia lanjut masih
melakukannya) cukur rambut bermakna menyambut hari kemenangan ditandai dengan
penampilan yang baru dan bersih serta terawat.
Memaknai
setiap budaya harusnya memang adil dari segi positif dan negative, jangan sampi
pandangan yang salah terhadap pemahaman budaya kemudian menjadi sebuah
“penghakiman” musrik atau kafir suatu agama. Banyak nilai-nilai positif yang
bisa diambil dari sebuah budaya, karena budaya itu diciptakan dengan berbagai
pertimbangan filosofi dan nilai-nilai kehidupan.