Rabu, Agustus 08, 2012

SELAMATAN TUJUH BULANAN KEHAMILAN

Minggu, 12 Juni 2011

http://pcmdekso.blogspot.com/2011/06/selamatan-tujuh-bulanan-untuk-kehamilan.html


SELAMATAN TUJUH BULANAN UNTUK KEHAMILAN PERTAMA MENURUT PANDANGAN ISLAM
oleh: Sugiyanta
Umat Islam Indonesia di Jawa maupun di pulau selainnya, saat menyambut putera pertama ternyata masih melakukan ritual-ritual yang tidak ada perintahnya dari nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam. Acara itu adalah neloni (selamatan ketika kehamilan berusia tiga bulan), mitoni (saat berusia tujuh bulan), dan juga tingkeban.
Sebagian melakukannya ketiga-tiganya, ada pula yang melakukan acara mitoni dan tingkeban, ada pula yang melakukan tingkeban saja karena mitoni dianggap sama dengan tingkeban. Sebagian orang Jawa, (dan juga selainnya termasuk Sunda, Minang, Dayak dan lainnya) mempercayai bahwa mitoni atau selamatan tujuh bulanan, dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7 bulan atau lebih.
Mitoni dan tingkeban dilaksanakan saat kehamilan berusia tidak boleh kurang dari 7 bulan. Karena tidak ada neptu atau weton (hari masehi + hari Jawa) yang dijadikan patokan, maka hari selasa atau sabtu yang digunakan. Tujuan mitoni atau tingkeban agar supaya ibu dan janin selalu dijaga dalam kesejahteraan dan keselamatan (wilujeng, santosa, jatmika, rahayu).

Dari Agama Hindu

Ternyata telonan, mitoni dan tingkepan yang sering dijumpai di tengah-tengah masyarakat adalah tradisi yang berasal dari agama Hindu yaitu dalam Kitab Hindu Upadesa halaman 6 disebutkan bahwa telonan, mitoni, dan tingkeban dilakukan untuk memohon keselamatan anak yang ada di dalam rahim (kandungan). Acara ini sering juga dikenal dengan Garba Wedana (garba berarti perut, wedana berarti sedang mengandung).

Maksud dan Tujuannya

Telonan disebut juga pengambean, yaitu upacara pemanggilan atman (urip) atau ruh kehidupan. Mitoni untuk melakukan ritual sambutan, yaitu penyambutan atau peneguhan letak atman (urip) atau ruh kehidupan si bayi. Dan yang terbesar tingkeban berupa janganan, yaitu upacara suguhan terhadap "Empat Saudara" (sedulur papt) yang menyertai kelahiran sang bayi, yaitu : darah, air, barah, dan ari-ari yang oleh orang Jawa disebut kakang kawah adi ari-ari.
Tingkeban dilakukan guna memanggil semua kekuatan alam yang tidak kelihatan tapi mempunyai hubungan langsung pada kehidupan sang bayi dan juga pada panggilan kepada Empat Saudara yang keluar bersama saat bayi dilahirkan. Bayi dan kakang kawah ari-ari bersama-sama diupacarai, diberi pensucian dan suguhan agar sang bayi mendapat keselamatan dan selalu dijaga oleh unsur kekuatan alam.

Ari-ari yang keluar bersama bayi dibersihkan dengan air dan dimasukkan ke dalam tempurung kelapa, atau kendil atau guci. Kendil kemudian ditanam di pekarangan, di kanan pintu apabila bayinya laki-laki, di kiri pintu apabila bayinya perempuan. Kendil yang berisi ari-ari ditimbun dengan baik, dan pada malam harinya diberi lampu, selama tiga bulan (Kitab Upadesa, tentang ajaran-ajaran Agama Hindu, oleh : Tjok Rai Sudharta, MA. dan Drs. Ida Bagus Oka Punia Atmaja, cetakan kedua 2007).

Umat Islam Sekarang pun Sebagian Besar Masih Melaksanakannya

Sekarang masyarakat Islam masih banyak orang yang melaksanakan tingkeban atau mitoni, dengan tatacara yang sedikit berbeda (atau dibedakan) dengan tradisi Jawa. Keluarga yang memiliki ibu yang hamil tujuh bulan mengajak tetangga-tetangganya guna dimintai pertolongan untuk membacakan beberapa surat tertentu dari Alquran, seperti Surat Yusuf, Surat Maryam, Surat Yasin, dll. Mereka membaca bersama-sama dengan bagian yang berbeda-beda, surat yang panjang biasanya dibagi dua atau tiga orang, sehingga dalam waktu kurang lebih setengah jam bacaan Alquran sudah selesai dan diakhiri dengan pembacaan doa oleh imamnya.
Demikian juga ketika anak dilahirkan mereka melakukan amalan yang sama dengan menanam ari-ari di kanan atau kiri pintu utama rumah dan meneranginya selama tiga bulan.
Selamatan kehamilan, seperti 3 bulanan atau 7 bulanan (Nujuh Bulanan), tidak ada dalam ajaran Islam. Itu termasuk perkara baru dalam agama. Dan semua perkara baru dalam agama adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
"Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan". (HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah).
Kemudian, jika selamatan kehamilan tersebut disertai dengan keyakinan akan membawa keselamatan dan kebaikan, dan sebaliknya jika tidak dilakukan akan menyebabkan bencana atau keburukan, maka keyakinan seperti itu merupakan kemusyrikan. Karena sesungguhnya keselamatan dan bencana itu hanya di tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Allah berfirman:

قُلْ أَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ مَا لاَ يَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلاَ نَفْعًا واللهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَليِمُ
'Katakanlah: "Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfa'at?". Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui'. (QS Al Maidah:76).

Mitoni Menurut Nahdhatul Ulama

Dalam KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA (NU) KE-5 Di Pekalongan, pada tanggal 13 Rabiul Tsani 1349 H / 7 September 1930 M. Lihat halaman : 58 disebutkan pernyataan dan jawaban:
Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya melempar kendi yang penuh air hingga pecah pada waktu orang-orang yang menghadiri UPACARA PERINGATAN BULAN KE TUJUH dari umur kandungan pulang dengan membaca shalawat bersama-sama, dan dengan harapan supaya mudah kelahiran anak kelak. Apakah hal tersebut hukumnya haram karena termasuk membuang-buang uang (tabzir)?
Jawab :Ya, perbuatan tersebut hukumnya H A R A M karena termasuk tabdzir.

Dalam KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA (NU) KE-7 Di Bandung, pada tanggal 13 Rabiul Tsani 1351 H / 9 Agustus 1932 M. Lihat halaman 71: Menanam ari-ari (masyimah/tembuni) hukumnya sunnah. Adapun menyalakan lilin (lampu) dan menaburkan bunga-bunga di atasnya itu hukumnya H A R A M, karena membuang-buang harta (tabzir) yang tidak ada manfa'atnya.

8 komentar:

  1. yang harus diperhatikan utamanya adalah agama lebih dulu.... baru adat atau tradisi

    BalasHapus
  2. Mohon maaf saya mau nanya . saya ingin mengadakan 7 bulanan tetapi jatoh'a udh masuk bulan puasa . sebaik'a saya mengadakan'a lebih atau kurang ya dr 7 bulanan tersebut dan menurut baik'a dalam islam gmna ya ? Terima kasih

    BalasHapus
  3. Memang harus sering belajar masalah agama lagi ini.

    Masih banyak yang saya belum paham.

    BalasHapus
  4. dalam Alquran Surat Al A'raf 189 Allah tdk mnyebutkan jumlah bulan apalagi menghususkannya di bulan ketujuh, kt sebagai ortu dari calon bayi tsb hendakanya berdoa untuk rasa syukur kt terhadap karunia Allah tsb, dan para ulama mnganjurkan agar banyak bersedekah disaat kehamilan semakin memberat, bukan melakukan tradisi2 yg bisa saja mngakibatkan kesyiriksan.

    BalasHapus
  5. Sebaiknya menyikapi permasalahan seperti ini jangan langsung menghukumi haram. Karena banyak orang yang mengadakan acara mitoni dan sebagainya tujuannya beesyukur atas kedatangan si jabang bayi dan bentuk syukurnya dengan mengundang tetangga , berkumpul membaca Al Quran ,berdzikir,brdoa dan bershodaqoh makanan dan sebagainya yang menurut saya tidak ada pertentangan dengn agama.

    BalasHapus
  6. Ngaji lagi kaaang biar wawasannya luas,

    BalasHapus
  7. Memang harus banyak belajar agama, mana yg sesuai agama mana yg mengandung unsur2 yg tidak ada di agama atau di al quran. Sebenarnya cara bersyukur atas kehamilan bisa dengan cara lain yaitu bersedekah atau memberi makan orang fakir miskin. Tidak harus dengan cara adat seperti itu yg tdk ada di al quran..

    BalasHapus