Minggu, 24 Juni 2012
http://pcmdekso.blogspot.com/2012/06/nyadran-bagaimana-kita-mesti-bersikap.html
NYADRAN – BAGAIMANA KITA MESTI BERSIKAP
Oleh: Sugiyanta, S.Ag, M.Pd
Pengertian
Nyadran adalah melaksanakan upacara sadran atau sadranan.
Nyadran biasa dilaksanakan pada tanggal 15 Ruwah (Sya’ban) hingga
mendekati bulan Puasa (Ramadhan). Ruwahan sering juga disebut ruwahan.
Sejarah
Konon
Nyadran adalah tradisi yang diawali oleh Ratu Tribuana Tungga Dewi,
Raja Majapahit. Saat itu ia ingin berdoa kepada ibunya yang bernama Ratu
Gayatri, dan roh nenek moyangnya yang diperabukan di candi Jabo. Untuk
itu disiapkan sesaji yand ditujukan kepada para dewa. Tradisi ini
dilanjutkan oleh Prabu Hayam Wuruk.
Konon
pula tradisi ini dilanjutkan oleh Wali Songo menjadi nyadran untuk
mendoakan para orang tua di alam baka. Bedanya sesaji tidak lagi
diperuntukkan kepada para dewa, tetapi sebagai sarana untuk sedekah
kepada fakir miskin.
Nyadran Kini
Kini
nyadran menjadi agenda tradisi yang banyak dilestarikan oleh pemerintah
dari RT hingga kabupaten. Dari sesaji yang paling sederhana berbiaya
kecil hingga sesaji mewah berbiaya puluhan juta. Sesaji (hidangan, kalau
tak boleh disebut sesaji) biasa dimakan di makam, masjid, atau bahkan
alun-alun. Dalam penyajian hidangan ada pula yang mengorbankan binatang
korban ditujukan kepada mayat yang sudah dimakamkan. Tradisi di tingkat
kabupaten biasa disebut Nyadran Agung.
Ritual Nyadran
1. Bersih-bersih makam
2. Mengadakan selamatan (wilujengan) dengan sajian utama kolak, apem, ketan, ambeng, tumpeng, sesajian lain (tukon pasar), dan tentu kemenyan
3. Berziarah
ke makam, mungkin orang tua, nenek moyang, leluhur, orang-orang alim,
orang-orang linuwih yang dekat maupun yang jauh dan melakukan tabur
bunga.
Keyakinan-Keyakinan
Mengapa
nyadran diselenggarakan pada bulan Sya’ban? Konon jawabannya adalah
Jasad dan ruh orang yang meninggal akan terpisahkan pada bulan sya’ban.
Atau dengan bahasa yang lain bahwa pada bulan Sya’ban turun ketentuan
pisahnya ruh dengan jasad manusia. Menentukan bulan Sya’ban sebagai
bulan utama untuk nyadran dan atau untuk berziarah kubur harus disertai
dalil. Adakah dalil tentang hal itu?
Permasalahannya
1. Berasal dari Orang Non-Islam.
Kalau
benar tradisi ini meneruskan tradisi yang dilakukan oleh Tri Bhuwana
Tungga Dewi, maka selayaknya kita tidak meniru-niru ibadah yang
dilakukan oleh orang kafir. Tidak dapat dipungkuri bahwa Tri Bhuana
Tungga Dewi, dan Hayam Wuruk adalah orang-orang non-Islam/kafir. Meniru
ibadah mereka tidak dibenarkan oleh agama kita ini.
2. Bersih-bersih makam pada bulan Sya’ban.
Adakah
ketentuan dalam agama ini, membersihkan makam pada bulan Sya’ban
memiliki keutamaan dari pada membersihkan makam pada bulan lainnya?
3. Sesajian untuk sedekah untuk kaum fakir miskin.
Rupanya
ini perlu dikonsep ulang. Untuk mengindari kesan pesta-pesta (membuat
hidangan lalu dimakan sendiri), sedekan lebih bermakna kalau disampaikan
dalam bentuk beras, pakaian, atau uang daripada hidangan (yang kadang
dimakan sendiri oleh yang membuat hidangan). Dan lagi sedekah pada bulan
Sya’ban tidak memiliki keutamaan daripada bulan lainnya.
4. Peninggalan Wali Songo
Kalau
memang ini peninggalan Wali Songo sebagai bentuk dakwah karena keadaan
masyarakat saat itu yang begitu sulit menerima ajaran baru, maka
sebaiknya kita merenungi komentar Sunan Kalijogo berkenaan dengan
tahlilan, “Biarlah nanti generasi setelah kita, ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan
5. Tabur bunga dan membakar kemenyan.
Adakah contoh dari Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam dan para sahabatnya budaya atau tuntunan untuk melakukan hal itu.
Masih banyak
yang lain, karena keterbatasan penulis, penulis sudah menganggap cukup
untuk mengajak pembaca merenungkan kembali apakah kita perlu untuk
meneruskan dan nguri-uri
tradisi nyadran. Penulis hanya mengetahui kaidah, “Seluruh bentuk ibadah
itu dilarang, kecuali Allah dan Rasulnya memerintahkan untuk
mengerjakannya.” Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar