Minggu, Oktober 11, 2009

Tragedi Amir Sjarifuddin by PROF DR AHMAD SYAFI'I MA'ARIF

Dalam suasana Sumpah Pemuda bulan Oktober tahun ini, ada baiknya kita menyebut nama salah seorang arsiteknya : Amir Sjarifuddin (1907-1948) yang pada 1928 menjadi bendahara panitia kongres yang dibentuk bulan Juni tahun itu Amir mewakili Jong Bataks Bond. Istilah sumpah belum muncul ketika itu. Di akhir hayatnya Amir mengalami tragedi sejarah sebagai risiko dari pilihan politiknya. Tahun-tahun kedua dan ketiga proklamasi, baik Sjahrir maupun Amir sama-sama dikhianati pendukungnya, demi politik kekuasaan yang serba kelabu.
Saat Kongres Pemuda Amir baru berusia 21 tahun, sementara Muhammad Yamin dari Jong Sumatranen Bond sebagai sekretaris berusia 25 tahun. Ketua kongres adalah Soegondo Djojopoespito dari PPPI (Perkumpulan Pelajar-Pelajar Indonesia). Amir terlahir sebagai Muslim kemudian berpindah agama menjadi penganut agama Kristen sekitar 1935.
Amir dikenal cerdas, orator, pemain biola, tetapi emosional. Amir, sebagai pemimpin pemuda Batak, pada dasa warsa ketiga abad ke-20 sedang mengalami proses transformatif yang sangat krusial: dari penganut patriotisme lokal menjadi nasionalis Indonesia. Di tahun 1920-an itu nasionalisme Indonesia telah mulai jadi kredo para pemuda dengan tujuan tunggal: kemerdekaan bangsa. Sebagian besar gerakan pemuda daerah yang ada di Jakarta waktu itu sudah keluar dari kurungan lokalnya dan meleburkan diri ke dalam lingkaran keindonesiaan. Akhirnya kesadaran bersama tercapai dalam bentuk Sumpah Pemuda 1928, di mana Amir salah seorang otaknya.
Fenomena serupa juga terjadi di kalangan PI (Perhimpunan Indonesia) di negeri Belanda dengan tokoh-tokohnya seperti Soekiman Wirjosedjojo, Hatta, Ali Sastroamidjojo, Sutan Sjahrir, Arnold Mononutu, Nazir Pamoentjak, Abdoel Madjid, Achmad Soebardjo. Mereka sedang mengucapkan sayonara kepada kesetiaan etnisnya menuju terbentuknya sebuah bangsa baru di kawasan katulistiwa: bangsa Indonesia. Dalam proses yang dinamis ini, ada tiga ideologi politik yang jadi pemicu: Islamisme, Marxisme, dan Nasionalisme. Kategorisasi ini sebenarnya sedikit menyesatkan, sebab pendukung ketiga ideologi itu pada umumnya adalah nasionalis sejati, kecuali beberapa tokoh marxist yang punya kesetiaan ganda: kepada Indonesia dan kepada Uni Soviet sebagai
pusat gerakan komunisme internasional.
Kembali kepada Amir. Kita tidak tahu pasti kapan Amir menjadi seorang marxist, tetapi kemungkinannya baru tahun 1930-an ia telah terlibat kegiatan PKI ilegal, sekalipun memakai baju Gerinda (Gerakan Rakyat Indonesia) yang didirikan 1937. Pada 1940 dalam suasana PD II, aparat kolonial menangkap Amir. Kepadanya diberikan dua pilihan: dibuang ke Digul atau ikut Belanda. Amir memilih yang kedua. Dengan diberi modal 25 ribu franc, Amir mulai menyusun gerakan bawah tanah dalam persiapan menghadapi serangan Jepang yang akan datang untuk menghalau Belanda. Perkiraan itu benar. Maret 1942 Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Jaringan Amir terbongkar oleh Jepang, dan pada 29 Februari 1944 ia dijatuhi hukuman mati.
Tetapi berkat campur tangan Sukarno-Hatta, Amir tidak dihukum mati, tapi hukuman seumur hidup. Belum sampai dua tahun Amir dihukum, Amerika mengebom Nagasaki dan Hiroshima, Jepang menyerah kepada sekutu. Tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka, Amir pun merdeka.
Sebagai insan politik yang berbakat, Amir cepat bergerak mengurus Indonesia merdeka sambil merebut peluang untuk berkuasa. Politik Indonesia ketika itu sarat konflik kepentingan antar faksi. Amir yang kiri sempat beraliansi dengan Sjahrir, tetapi tidak berumur panjang. Sesama kekuatan kiri pun saling sikut menyikut. Situasi menjadi sangat ruwet dan tegang. Setelah Kabinet Sjahrir kedua jatuh, pada Juli 1947 Amir menggantikannya yang sebelumnya sudah menjadi menteri pertahanan. Masyumi dan PNI yang semula masuk kabinet, kemudian keluar untuk menggalang kekuatan oposisi. Posisi Amir menjadi melemah. Kelompok kiri yang menguasai kementerian pertahanan di bawah menhan Amir Sjarifuddin telah membentuk tentara masyarakat di samping TRI/TNI. Amir bertindak lebih jauh, Jenderal Soedirman dan Jenderal Oerip dipecatnya. Akhirnya kabinet tak bisa bertahan. Amir menyerahkan mandatnya pada 23 Januari 1948, digantikan oleh Kabinet Hatta sebagai kabinet presidensial. Soedirman-Oerip dipulihkan kembali untuk memimpin TNI.
Karena kelompok kiri sedang kalah, mereka kehilangan keseimbangan. Oposisi mereka kepada Hatta telah berujung
dengan pemberontakan PKI di Madiun dimulai 18 September 1948 di bawah pimpinan Muso, bekas tokoh Serikat Islam/veteran PKI dalam pemberontakan 1926/1927, dan Amir terlibat. Hatta bertindak tegas, pasukan Siliwangi dikerahkan untuk menumpas pemberontakan ini. Dalam tempo singkat, kekuatan pemberontak dikalahkan. Amir ditangkap di persembunyiannya di Desa Klambu, Purwodadi, pada 29 November 1948 dalam keadaan sakit disentri. Semula Amir dibawa ke Kudus, kemudian ke Jogja atas permintaan Jenderal Gatot Soebroto sebagai gubernur militer, Amir dan tawanan yang lain dikirim ke Solo. Tengah malam tanggal 19 Desember 1948 Amir bersama 10 tawanan yang lain ditembak mati di Desa Ngalihan, Karanganyar Surakarta.
Amir salah seorang otak Sumpah Pemuda 1928, mantan menteri pertahanan dan perdana menteri di era revolusi
kemerdekaan menjalani ujung hidupnya secara tragis ditembus timah panas atas perintah gubernur militer. Sengketa politik kekuasaan sering benar minta korban. Amir hanyalah salah seorang di antaranya.

Oleh : Ahmad Syafii Maarif
www.republika.co.id
Selasa, 30 Oktober 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar