Mahmudi Asyari
Umat Islam memulai berpuasa sudah pasti pada 1 Ramadan. Namun, kenapa pertanyaan 'konyol' itu sering mengemuka pada saat ibadah yang menjanjikan berbagai keistimewaan itu akan tiba?
Pertanyaan itu bukan dikarenakan akan ada puasa Ramadan yang tidak dimulai tanggal 1 atau akan ada puasa di bulan lain, melainkan persoalannya terletak kapan tanggal 1 itu jatuh. Penetapan tanggal 1 untuk sejumlah bulan (Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah) memang sering krusial dan tidak jarang karena perbedaan metode yang dipergunakan menghasilkan penetapan tanggal 1 berbeda.
Bagi orang yang memahami bahwa hal itu lantaran metode barangkali tidaklah masalah karena semuanya merupakan sebuah upaya mendapatkan keyakinan melalui tahapan spekulatif (zhann). Zhann dalam tataran teoritis semuanya mempunyai derajat yang sama alias semua benar. Hanya, ketika akan melaksanakan tentunya tidak bisa diamalkan dan harus memilih satu dari sekian yang ada.
Oleh sebab itu, semestinya yang dikedepankan adalah sikap toleran dengan menegaskan bahwa semuanya benar. Namun, saya memilih metode ini karena mendatangkan ketenangan (ithmi'nan) di hati. Tidak usahlah ribut menurut ini dan itu apalagi mencari pembenaran dari ulama klasik di mana setiap pilihan pasti ada fatwanya.
Untuk mengetahui apakah ada kemungkinan perbedaan dalam menghadapi awal dan akhir Ramadan 1428 H yang akan datang ada baiknya kita mencermati data-data hisab sebagai berikut. Ijtima' akhir Syakban 1429 H jatuh pada pukul 02:58 WIB tanggal 31 Agustus 2008 dini hari. Ketinggian hilal pada sore hari tanggal 31 Agustus 2008 pada saat matahari tenggelam untuk wilayah Sumatra, Jawa, Bali, NTT, Kalimantan Barat bagian selatan sudah mencapai ketinggian antara 4 sampai 5 derajat lebih. Sedangkan untuk wilayah timur pada umumnya hilal sudah berada di atas ufuk dengan ketinggian 1 sampai 3 derajat. Walhasil, hilal untuk semua wilayah Indonesia sudah di atas ufuk.
Dengan demikian, jika merujuk kepada ketinggian hilal pada sore tanggal 31 Agustus 2008 tersebut, hampir bisa dipastikan pada tahun ini umat Islam Indonesia akan memulai pada 1 September 2008. Meskipun demikian, mengingat 31 Agustus 2008 merupakan hari ke-29 bulan Syakban, potensi perbedaan itu tetap ada, mengingat penganut rukyah masih akan memverivikasi keberadaan hilal itu dengan ru'yah bi al-fi'l.
Dengan kata lain, jika pada sore hari tanggal 31 Agustus 2008 tidak berhasil rukyah, maka ada perbedaan pun tidak bisa dihindari. Jika itu terjadi, pimpinan umat Islam harus mengupayakan memberi pemahaman yang baik kepada masyarakat (awam) bahwa perbedaan itu bukan lantaran tidak mengamalkan hadis atau sebaliknya, tapi lebih kepada upaya tafsir terhadap nashsh (hadis) tersebut.
Oleh karena itu merupakan sebuah bentuk tafsir, di situ tidak ada kebenaran tunggal. Hasil tafsir yang sangat variatif itu, menurut aliran mushawwibah dalam jurisprudensi hukum Islam (Ushul al-Fiqh) semuanya benar sehingga tidaklah tepat jika penganut salah satu hasil tafsir menganggap salah hasil tafsir yang lain. Bentuk keberagaman hasil ijtihad itu merupakan sebuah konsekuensi dari ranah fikih di mana akal (rasio) mempunyai peran penting dalam memformulasikan sebuah hukum.
Berkaitan dengan itu, Muhammad al-Ghazali dalam bukunya, Al-Sunnah al-Nabawiyyah bain 'Ahl al-Hadits wa 'Ahl al-Fiqh mengatakan tidak ada fikih yang terlepas dari Sunah dan begitu juga sebaliknya Sunah tidak ada yang tidak memerlukan nalar. Persoalan perbedaan dalam memaknai hadis Nabi berkaitan dengan bagaimana awal bulan ditetapkan tidak terlepas dari nalar tersebut.
Biarlah orang mengatakan bahwa rukyah hanya relevan dengan masa lalu di mana hisab belum berkembang. Namun, mengatakan bahwa rukyah hanya relevan di wilayah Arab yang selalu panas. Jika begitu kenapa ada ungkapan Nabi Muhammad jika mendung. Itu berarti bahwa persoalan cuaca juga menjadi masalah di sana.
Bila begitu, biarlah orang mengatakan bahwa hanya rukyahlah yang sesuai Sunah. Namun, jangan sampai mengatakan bahwa yang lainnya salah karena akan berakibat kepada pengabaian ungkapan kira-kiralah (taqdir) dalam hadis Nabi yang lain.
Oleh sebab itu, yang tepat berkaitan dengan masalah itu selama belum dicapai titik temu adalah toleransi atas perbedaan. Pemerintah meskipun menetapkan juga awal bulan sesuai kriteria yang dibangunnya, haruslah memfasilitasi perbedaan itu serta memberikan kesempatan kepada penganutnya untuk menjalankan keyakinannya.
Mencari titik temu
MUI memang telah melakukan upaya ke arah penyatuan melalui fatwa itu. Namun, semuanya itu kembali kepada ormas Islam, apakah mau menjadikan fatwa itu sebagai pedoman penentuan awal bulan Hijriyah atau tidak. Namun, yang jelas menurut saya jika persoalan itu hanya persoalan khilafiyah bukan sesuatu yang mendasar, mari carikan titik temunya sehingga masyarakat awam tidak dibingungkan oleh perbedaan penyelenggaraan hari raya tersebut.
Pembuatan kategori ini perlu guna mereduksi penerapan secara mutlak hisab berkaitan dengan masalah wujud al-hilal dan doktrin istikmal (melengkapi bilangan bulan menjadi 30 hari). Seperti dalam kasus 1 Ramadan 1429 H yang akan datang di mana ketinggian hilal tidak hanya mencapai ketinggian minimal imkan al-ru'yah (2 derajat), tetapi sudah mencapai ketinggian yang jika tidak ada halangan cuaca ‘pasti’ bisa dirukyah.
Dalam keadaan hilal sudah mencapai ketinggian tersebut, ru'yah bi al-fi'l menurut saya tidak lagi relevan untuk dilakukan. Dengan demikian, menurut saya, ru'yah bi al-fi'l hanya relevan jika ketinggian hilal berkisar 1,5 sampai 2 derajat atau di bawah dua derajat guna memastikan apakah hilal memang telah wujud atau tidak.
Pembatasan rukyah tersebut menurut saya perlu dalam rangka menjembatani kesenjangan antara pengguna teori wujud //al-hilal// mutlak di satu sisi dan pengguna teori ru'yah mutlak di sisi lain yang senantiasa menuntut istikmal manakala hilal tidak bisa dilihat meskipun sebenarnya sudah sangat tinggi.*
Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 29 Agustus 2008
Penulis adalah kandidat doktor UIN Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar