Rabu, Januari 19, 2011

Problematika Hisab Rukyah di Indonesia*

Problematika Hisab Rukyah di Indonesia*

makalah yg disampaikan oleh ahmad izzudin pada acara diklat hisab &rukyat

Pada dasarnya persoalan hisab rukyah tidak hanya persoalan penentuan awal bulan Qamariyah (dalam hal ini penentuan awal Ramadan, Syawal dan Dulhijjah)1. Namun karena persoalan penentuan awal bulan Qamariyah ini lebih mempunyai greget – lebih berpotensi menimbulkan perbedaan – maka wajar jika ia lebih mendapatkan perhatian dan lebih dikenal sebagai persoalan hisab rukyah dari pada persoalan lainnya. Berpijak pada alur logika tersebut agar tidak melebar maka penulis mengfokuskan pada pemikiran (hisab rukyah) penentuan awal bulan Qamariyah (dalam hal ini awal Ramadan, Syawal dan Dulhijjah). Muara perbedaan pemikiran hisab rukyah di Indonesia pada dasarnya tidak berbeda dengan muara perbedaan pemikiran para fuqaha (terdahulu) yakni pada perbedaan pemahaman hadis-hadis hisab rukyah. 2 Hanya saja dalam wacana pemikiran hisab rukyah di Indonesia, ragam pemikirannya lebih majemuk dibanding ragam pemikiran dalam wacana hisab rukyah pada kalangan para fuqaha (terdahulu). Hal ini karena sentuhan Islam sebagai “great tradition” dan budaya lokal atau little tradition yang sering menimbulkan corak budaya tersendiri yang di luar dugaan. Dalam konteks ini disebut sebagai paham keislaman yang bersifat lokal, seperti Islam Jawa – atau dalam bahasa Geertz disebut “Religion of Java” 3. Islam jawa ternyata berkembang dan mempunyai praktek-praktek keagamaan yang khas dan berbeda dengan mainstream Islam pada umumnya. Fenomena semacam inilah yang sering melahirkan pemikiran tersendiri, dalam pemikiran hisab rukyah seperti pemikiran hisab rukyah “Aboge” atau “Asapon”. Mazhab Hisab Rukyah di Indonesia Pada dasarnya sejarah pemikiran Islam sejak awal pertumbuhannya adalah sejarah aliran – mazhab – firqah4. Sejarah fiqh Hisab Rukyah (termasuk penetapan awal bulan Qamariyah) juga tidak lepas dari persoalan aliran atau mazhab. Dalam wacana pemikiran Islam, aliran pemikiran itu biasanya disebut mazhab. Kata mazhab biasanya digunakan dalam term fiqh yakni suatu cabang ilmu keislaman yang mempelajari tentang hukum-hukum agama (meminjam istilah Nurcholis Madjid: jurisprudensi hukum). Memang jika kita tilik dalam kamus fiqh, istilah itu terkesan hanya terfokus pada istilah empat mazhab yang ada dalam sejarah Islam. Namun kalau kita berpijak pada pemikiran Islam secara umum sebagaimana dalam buku The Concise Encyclopedia of Islam, istilah itu diartikan sebagai sistem berfikir _a system of thought_ Dalam buku A Populer Dictonary of Islam, Ian Rechard Newton memberikan tafsiran sebagai kelompok pemikir atau kelompok penulis yang berkecimpung dalam hukum (school of law).5 Sehingga dalam pilahan pemikiran dalam fiqh hisab rukyah ini, penulis dalam kerangka makro memilah dalam mazhab-mazhab6. Pemikiran-pemikiran hisab rukyah di Indonesia tersebut di antaranya : 1. Pemikiran hisab rukyah “Mazhab” Tradisional ala Islam Jawa Pemikiran ini sering disebut dengan pemikiran “Aboge” atau “Asapon” yakni cara penentuan awal Ramadan, Syawal dan Dulhijjah dengan bersandarkan pada perhitungan tahun Jawa lama (khuruf Aboge atau khuruf Asapon) dan rukyatul hilal (observasi dengan mata telanjang saat tenggelamnya matahari). Dalam pemikiran “Aboge” ada beberapa prinsip utama, yakni: Pertama, prinsip penentuan tanggal selain berdasarkan kalender Hindu-Muslim-Jawa, adalah “dina niku tukule enjing lan ditanggal dalu” (hari itu lahirnya pagi dan diberi tanggal malam harinya) . Kedua, bahwa jumlah hari dari bulan puasa menurut cara perhitungan “Aboge” selalu genap 30 hari, tidak pernah 29 hari seperti pada cara perhitungan hari Falak (versi pemerintah). Adapun istilah “Aboge” dapat dirinci bahwa “a” berasal dari alip, salah satu dari delapan tahun siklus windu; “bo” mengacu pada rebo (hari Rabu); dan “ge” berasal dari wage, salah satu dari hari pasaran yang lima. Ini berarti bahwa tahun alip selalu dimulai pada hari Rabu Wage, dengan mengetahui ini maka akan dapat menghitung hari jatuh riyaya (hari lebaran) setiap tahun. Cara yang lebih singkat adalah mengambil hari permulaan tahun (1 sura) dan menggunakan rumus “waljiro”. “Wal” adalah bulan Syawal, “ji” berarti tanggal siji (satu), dan “ro” adalah berarti loro (dua), yaitu hari pasarannya. Ini berarti bahwa hari lebaran jatuh pada tanggal 1 Syawal dihitung dengan menghitung satu dari hari mingguan dan dua dari hari pasaran pada permulaan tahun. Misalnya, kalau permulaan tahun itu Ehe, dan tanggal 1 Sura pada hari Ngahad Pon, maka hari lebaran akan jatuh pada hari Ngahad Wage. Ketiga, penentuan awal bulan puasa dan awal bulan Syawal digunakan istilah ”pletek” yang berarti terbukti atau semua masyarakat telah melihat bulan dengan mata telanjang, sebagaimana dasar dari hadis-hadis hisab rukyah. SEHINGGA WAJAR JIKA PENGIKUT PEMIKIRAN INI, MEMULAI PUASA ATAU LEBARAN SELALU SETELAH SATU HARI DARI PENETAPAN PEMERINTAH. SEBAGAIMANA HASIL PENELITIAN ANDY AHMAD ZAELANY, BAHWA PEMIKIRAN HISAB RUKYAH “MAZHAB” TRADISIONAL ALA ISLAM JAWA SELAMA INI SEBAGAIMANA YANG DIPRAKTEKKAN DI MASYARAKAT DUSUN GOLAK DESA GENTENG KECAMATAN AMBARAWA SEMARANG JAWA TENGAH. Namun jika ditilik dari perjalanan historis pemikiran hisab rukyah “mazhab” Tradisional ala Islam Jawa, ternyata berasal dari pemikiran hisab rukyah (kalender) Saka YANG DIPERBAHARUI OLEH SULTAN AGUNG HANYOKROKUSUMO YAKNI DISESUAIKAN DENGAN PERHITUNGAN LUNAR (QAMARIYAH) TIDAK LAGI MENGGUNAKAN SISTEM PERHITUNGAN SOLAR (SYAMSIYYAH). PERALIHAN TERSEBUT TERJADI PADA TANGGAL 1 SURA TAHUN ALIP 1555 (TAHUN JAWA) YANG BERTEPATAN DENGAN TANGGAL 8 JULI 1633 M YAKNI HARI JUM’AT LEGI. DARI TAHUN 1633 M SAMPAI SEKARANG, KALENDER INI SUDAH TIGA KALI MENGALAMI PENYESUAIAN KALENDER, SEHINGGA SAMPAI SEKARANG SUDAH MENGALAMI PERUBAHAN EMPAT KALI DASAR PERMULAAN AWAL TAHUN YAKNI MULAI DENGAN PEMIKIRAN HISAB RUKYAH “AJUMGI” (TAHUN ALIP MULAI PADA HARI JUM’AT LEGI), KEMUDIAN “AKAWON” (TAHUN ALIP MULIA PADA HARI KAMIS KLIWON), KEMUDIAN “ABOGE” (TAHUN ALIP MULAI PADA HARI REBU WAGE), KEMUDIAN “ASAPON” (TAHUN ALIP MULAI PADA HARI SELASA PON). METODE YANG TERAKHIR INILAH (PEMIKIRAN “ASAPON”) YANG SAMPAI SEKARANG INI DIPEGANGI OLEH MAYORITAS UMAT ISLAM JAWA (KEJAWEN) TERUTAMA DI KALANGAN LINGKUNGAN KRATON YOGYAKARTA. Melihat realita tersebut, nampak bahwa sampai saat ini ternyata tidak hanya pemikiran “Aboge” saja yang hidup di masyarakat sebagaimana dikatakan Andy Ahmad Zaelany dalam penelitiannya di dusun Golak desa Genteng, Ambarawa. Namun pemikiran “Asapon” yang nota bene pemikiran hisab rukyah “Mazhab” Tradisional yang terbaru juga hidup di masyarakat. Malahan menurut perhitungan kalender Jawa, pemikiran “Aboge” sudah harus diganti dengan pemikiran “Asapon”, tapi dalam dataran realitas ternyata pemikiran “Aboge” masih berlaku juga di kalangan umat Islam Jawa sebagaimana tersebut di atas. Berangkat dari pemikiran tersebut penulis berasumsi bahwa tidak menutup kemungkinan pemikiran-pemikiran yang lain yakni “Akawon” dan “Ajumgi” juga masih berlaku di masyarakat Jawa (Kejawen), hanya saja sampai saat ini penulis belum menemukan jejak pemberlakuanya di masyarakat. 2. Pemikiran hisab rukyah “mazhab” Rukyah Dalam wacana hisab rukyah di Indonesia, “mazhab” rukyah ini selalu diidentikkan dengan pemikiran hisab rukyah Nahdlatul Ulama. Namun pengidentikkan ini kiranya tidak dapat diterima seratus persen kebenarannya. Karena pada dasarnya dalam “mazhab rukyah” terdapat beberapa “mazhab-mazhab” kecil yang mempunyai perbedaan-perbedaan yang prinsipil, dan Nahdlatul Ulama sendiri termasuk salah satu dari “mazhab” kecil tersebut. “mazhab-mazhab” kecil tersebut muncul karena adanya perbedaan pemahaman term rukyah. Di antaranya dalam hal : a. Dalam pemahaman mathla’ . Ada yang berpendapat bahwa hasil rukyah di suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia. Dengan argumentasi bahwa hadis-hadis hisab rukyah khithabnya ditujukan pada seluruh umat Islam di dunia, tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas-batas daerah kekuasaan. Pemikiran inilah yang terkenal dengan “Rukyah Internasional” yang dipegang oleh Komisi Penyatuan Kalender Hijriyyah Internasional, di mana dalam konteks ke-Indonesia-an adalah kelompok Hizbut Tahrir . Hizbut Tahrir di Indonesia, sejauh pengamatan penulis ternyata mempunyai beberapa lembaga dakwah yang hidup di masyarakat seperti : Lembaga Dakwah al-Misykah di Semarang, Lembaga Dakwah al-Ihtikam di Surabaya, dan Inqiyad di Jawa Barat. Selama ini, mereka sering kali mengkampanyekan pemikirannya dalam beberapa forum diskusi panel. Di samping itu, ada pula yang berpendapat bahwa hasil rukyah di suatu tempat hanya berlaku bagi suatu daerah kekuasaan hakim yang mengisbatkan hasil rukyah tersebut. Pemikiran ini terkenal dengan “Rukyah fi wilayatil hukmi” sebagaimana pemikiran yang selama ini dipegangi oleh Nahdlatul Ulama secara institusi. PENULIS MEMBERI QAYYID NAHDLATUL ULAMA SECARA INSTITUSI ATAU STRUKTURAL, KARENA DALAM NAHDLATUL ULAMA SECARA KULTURAL TERDAPAT PEMIKIRAN YANG BERAGAM YANG DEMOKRATIS. SELAIN ITU, JUGA ADA PENDAPAT YANG HANYA MEMBERLAKUKAN RUKYAH SEBATAS PADA DAERAH YANG DIANGGAP MEMANG MEMUNGKINKAN ADANYA RUKYAH. DALAM KONTEKS KE-INDONESIA-AN, PEMIKIRAN INI KIRANYA TIDAK BERKEMBANG, DAN KALAUPUN ADA MUNGKIN HANYA PERSEORANGAN SAJA. b. DALAM PEMAHAMAN “KEADILAN” DALAM PERSAKSIAN RUKYAH. Dalam hal ini, semestinya tidak murni permasalahan rukyah, namun sangat terkait dengan permasalahan hisab. Karena penilaian bahwa seseorang “adil” dalam hal melihat hilal, orang menilainya sangat terkaitan dengan perhitungan hisab di mana hilal itu dilihat. Permasalahan ini sebagaimana dicontohkan Taufik : dalam kasus 1 Syawal 1412, 1413, dan 1414 H merupakan contoh kasus tidak dapat diterimanya laporan rukyah karena masih di bawah ufuk. Kemudian tahun 1418 H juga terulang lagi, hanya saja terdapat perbedaan yakni untuk 1418 H pada waktu itu semua sistem sepakat bahwa pada saat matahari terbenam tanggal 28 Januari 1998 hilal awal Syawal sudah wujud (di atas ufuk 0 -1,5 derajat), tetapi belum imkanurrukyah. Berkaitan dengan itu, Muker hisab rukyah tahun 1996/1997 dan 1998 belum dapat memutuskan awal Syawal 1418 berdasarkan perhitungan yang ada, dan pada akhir Ramadan tersebut memang ada laporan rukyah dari Bawean dan Cakung, tetapi ditolak oleh Menteri Agama setelah memperhatikan pandangan sebagian besar peserta sidang isbat. Dalam sidang tersebut, di antara ormas Islam hanya Muhammadiyah yang meminta supaya laporan kesaksian tersebut diterima, dan yang lain menolak dengan alasan belum imkanurrukyah. Melihat fenomena tersebut, penulis beranggapan bahwa kasus 1418/1998 merupakan proses penetapan yang sarat dengan muatan politis. Sebagaimana diakui sendiri oleh Basith Wahid bahwa pada dasarnya selama orde baru, Muhammadiyah selalu paralel dengan pemerintah , namun karena waktu itu pemerintah baru bermasalah dengan Amin Rais (saat itu sebagai Ketua Umum Muhammadiyah), maka dalam penentuan awal Ramadan waktu itu pemerintah berusaha untuk merangkul Nahdlatul Ulama. Walaupun pada waktu itu Menteri Agama (dr. Tarmidzi Tahir) tidak dari unsur NU, ia berpedoman istikmal (rukyah dinyatakan tidak berhasil), walaupun ada yang melaporkan adanya keberhasilan rukyatul hilal. Sehingga waktu itu Pemerintah berbeda dengan Muhammadiyah, namun bersamaan dengan Nahdlatul Ulama. Dari fenomena tersebut penulis berkesimpulan bahwa penentuan awal Ramadan waktu itu sarat muatan politik. Berangkat dari permasalahan “mazhab-mazhab” kecil rukyah di Indonesia tersebut, menurut hemat penulis pada dasarnya merupakan jelmaan dari ragam pemikiran “mazhab” rukyah pada kalangan fuqaha (terdahulu) . 3. PEMIKIRAN HISAB RUKYAH “MAZHAB” HISAB Sebagaimana dalam pemikiran “mazhab” rukyah, dalam “mazhab” hisabpun terdapat ragam pemikiran “mazhab-mazhab” kecil sebagai dampak dari adanya perbedaan sistem yang dipakai atau yang dipegangi. Di Indonesia sistem hisab yang berkembang pada dasarnya banyak sekali, hanya saja jika ditilik dari dasar pijakannya terbagi dalam dua macam yakni hisab urfi dan hisab hakiki . Hisab urfi dalam konteks ke-Indonesia-an sebagaimana dalam pemikiran hisab rukyah “mazhab” tradisional ala Islam Jawa yang terekam dalam sistem “Aboge” dan sistem ”Asapon”. Sedangkan mengenai hisab hakiki dapat dipilah pada pendirian yang mendasarkan pada ijtima’ yakni sistem yang berpendapat bahwa hakekat bulan Qamariyah itu dimulai sejak terjadinya ijtima’. Dalam kalangan pemikir hisab terkenal dengan istilah “Ijtima’un Nayyirain Isbatun Bainasy-syahrain”, yang sesuai dengan ketentuan astronomi bahwa konjungsi merupakan batas antar dua lunar months. Oleh karena ijtima itu hanya terjadi sekali dalam sebulan dan tidak ada hubungannya dengan tempat-tempat di muka bumi, maka saat ijtima dialami secara berlainan menurut perhitungan waktu setempat. Ijtima bisa terjadi pada pagi hari pada suatu tempat, yang dalam waktu bersamaan saat itu sedang siang hari atau malam hari di tempat lain. Oleh karena itu dalam prakteknya awal bulan Qamariyah ditetapkan berdasarkan ijtima yang terjadi sebelum matahari terbenam atau sebelum tengah malam, atau sebelum terbit fajar, sesuai dengan perbedaan pandangan tentang kapan dimulainya hari. Inilah sistem yang dipakai oleh Muhammad Manshur dalam karya monumentalnya “Sullamun Nayyirain”. Di mana sampai sekarang mengkristal dalam “mazhab” kecil yakni mazhab (kalender) Manshuriyyah, yang banyak dikiblat oleh kalangan hasib-hasib Jawa Timur. Sistem hisab yang mendasarkan pada posisi hilal, yakni penentuan awal bulan Qamariyah tidak hanya didasarkan pada ijtima’ melainkan harus diperhatikan posisi hilal di atas ufuk saat terbenam setelah terjadinya ijtima’ . Dalam sistem ini terbagi menjadi tiga yakni : 1. Sistem yang berpedoman pada ufuk hakiki yakni ufuk yang berjarak 90 derajat dari titik zenith. Prinsip utama dalam sistem ini adalah sudah masuk bulan baru, bila hasil hisab menyatakan hilal sudah di atas ufuk hakiki (positif) walaupun tidak imkanurrukyah. Sehingga sistem ini dikenal dengan sistem hisab wujudul hilal sebagaimana prinsip yang dipegang Muhammadiyah secara institusi. 2. Sistem yang berpedoman pada ufuk mar’i yakni ufuk hakiki dengan mempertimbangkan refraksi (bias cahaya) dan tinggi tempat observasi, sebagaimana pendapat yang dipegang “mazhab” kecil (kalender) Menara Kudus. 3. Sistem yang berpedoman pada imkanurrukyah dalam posisi hilal sudah wujud di atas ufuk hakiki atau mar’i, maka awal bulan Qamariyah masih tetap belum dapat ditetapkan, kecuali apabila hilal sudah mencapai posisi yang dinyatakan dapat dilihat. MENGENAI SISTEM IMKANURRUKYAH, PADA BULAN MARET 1998 PARA ULAMA AHLI HISAB DAN RUKYAH DAN PARA PERWAKILAN ORGANISASI MASYARAKAT ISLAM MENGADAKAN MUSYAWARAH KRITERIA IMKANURRUKYAH UNTUK INDONESIA. DI MANA KEPUTUSAN MUSYAWARAHNYA BARU DIHASILKAN PADA TANGGAL 28 SEPTEMBER 1998. KEPUTUSANNYA ADALAH : 1. PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH DIDASARKAN PADA SISTEM HISAB HAKIKI TAHKIKI DAN ATAU RUKYAH . 2. PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH YANG TERKAIT DENGAN PELAKSANAAN IBADAH MAHDHAH YAITU AWAL RAMADAN, SYAWAL DAN AWAL DULHIJJAH DITETAPKAN DENGAN MEMPERHITUNGKAN HISAB HAKIKI TAHKIKI DAN RUKYAH. 3. KESAKSIAN RUKYAH DAPAT DITERIMA APABILA KETINGGIAN HILAL 2 DERAJAT DAN JARAK IJTIMA KE GHURUB MATAHARI MINIMAL 8 JAM. 4. KESAKSIAN RUKYAH HILAL DAPAT DITERIMA APABILA KETINGGIAN HILAL KURANG DARI DUA DERAJAT MAKA AWAL BULAN DITETAPKAN BERDASARKAN ISTIKMAL. 5. APABILA KETINGGIAN HILAL 2 DERAJAT ATAU LEBIH, AWAL BULAN DAPAT DITETAPKAN. 6. KRITERIA IMKANURRUKYAH TERSEBUT DI ATAS AKAN DILAKUKAN PENELITIAN LEBIH LANJUT. 7. MENGHIMBAU KEPADA SELURUH PIMPINAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN ISLAM MENSOSIALISASIKAN KEPUTUSAN INI. 8. Dalam melaksanakan isbat, pemerintah mendengarkan pendapat-pendapat dari organisasi kemasyarakatan Islam dan para ahli. Lahirnya sistem imkanurrukyah di Indonesia itu, penulis menduga karena terilhami adanya batas imkanurrukyah 2 derajat yang lebih awal diputuskan oleh komite Penyelarasan Rukyah dan Taqwim Islam MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura) FENOMENA YANG UNIK Mazhab Imkanurrukyah ini merupakan mazhab tawaran Pemerintah dalam rangka menyatukan perbedaan pemikiran dalam hisab rukyah di Indonesia (dalam hal ini penetapan awal bulan Ramadan, Syawal Dulhijjah). Di mana dengan tawaran kekuasaan isbat diserahkan penuh kepada Pemerintah atas dasar Hukmul Hakim Ilzamun Wa Yarfaul khilaf, dengan harapan dapat tercapai kesatuan beribadah. Namun dalam dataran realitasnya terdapat fenomena yang menarik — sebagaimana disampaikan oleh Taufik — bahwa walau sudah disepakati adanya batasan minimal imkanur rukyah, namun ternyata belum disepakati tentang boleh dan tidaknya penetapan awal bulan dengan berdasarkan pada imkanur rukyah. Di mana Nahdlatul Ulama masih “belum membolehkannya”, sementara Muhammadiyah juga masih berpegang pada hisab wujudul hilal. Walaupun dalam muker 1999/2000, baik Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah menyatakan akan membahas masalah kriteria imkanurrukyah tersebut pada muktamarnya masing-masing , NAMUN SAMPAI SEKARANG JUGA MASIH BERPEGANG PADA PRINSIPNYA MASING-MASING. SEHINGGA SEKARANG SISTEM IMKANUR RUKYAH INI TERKESAN SEBAGAI MAZHAB TERSENDIRI YAKNI “MAZHAB” PEMERINTAH . Bahkan fenomena ini menjadi unik, di mana walaupun dalam setiap kali sidang isbat Pemerintah, berbagai pihak menempatkan – menghadirkan utusan dalam sidang isbat tersebut namun tetap saja mengeluarkan ketetapan sendiri-sendiri. Sehingga apapun istilahnya manakala masih mengikhbarkan atau mengeluarkan putusan sendiri-sendiri, sulit kiranya menghindari adanya perbedaan. Oleh karena itu, menyikapi fenomena ini kiranya yang perlu dikedepankan adalah sikap agree in disagreement (ittifaq fil ikhtilaf) sehingga muncul sikap tasamuh – toleransi. Karena perbedaan pemikiran tersebut sebagai dampak dari perbedaan pemahaman (interpretasi) dari nash. Wa Allahu A’lam bishshowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar