Rabu, Januari 19, 2011

MENGENAL KHA DAHLAN PENDIRI GERAKAN MUHAMMADIYAH

KHA DAHLAN



KHA Dahlan ternyata mempunyai nama kecil, yaitu Muhammad Darwisy. Beliau dilahirkan dari kedua orang tuanya, yaitu KH. Abu Bakar (seorang ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (puteri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga). Ia merupakan anak ke-empat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991).


Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam. Pada usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Ahmad Dahlan. Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah.

Sebagai seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya, ada sebuah nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri, yaitu :
"Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).

Setelah memperdalam ilmu, beliau membentuk badan dakwah yang untuk menyebarkan pembaharuan islam di bumi nusantara ini yang disebut Muhammadiyah (artinya pengikut nabi Muhammad SAW). Wah patut kita contoh nih tindakan mulai beliau. Beliau ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.

Muhammadiyah mendirikan organisasi untuk kaum perempuan dengan Nama 'Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, Nyi Walidah Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya. Beliau juga juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu'allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah). Beliau mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya. Beliau berpesan “Janganlah mencari hidup di Muhammadiyah, tetapi hidup-hidupilah muhammadiyah.” Kiai Dahlan lebih dikenal sebagai pembaru dengan karakter “man of action” karena tekanannya pada amaliah Islam, namun jauh di lubuk jiwa dan pikirannya pendiri Muhammadiyah ini menggelorakan spirit intelektualisme Islam sebagaimana pada umumnya pembaru. Muhammadiyah menjadi gerakan reformisme/modernisme Islam justru karena dilahirkan dari gagasan dan pemikiran Kiai Dahlan, yang di dalam dirinya bergelora spirit dan api pembaruan.Hebat yah! Nah tugas kita semua nih sebagai generasi muda meneruskan perjuangan beliau. “Allah bersama orang – orang yang berbuat amal shalih kebajikan”

Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut :
1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan Islam.
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan.
Kyai Haji Ahmad Dahlan
Muhammad Darwisy (Nama Kecil Kyai Haji Ahmad Dahlan) dilahirkan dari kedua orang tuanya, yaitu KH. Abu Bakar (seorang ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (puteri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga). Ia merupakan anak ke-empat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul'llah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).

Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits.


Pada usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Ahmad Dahlan. Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah.

Sebagai seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya, ada sebuah nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri, yaitu :

"Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).

Dari pesan itu tersirat sebuah semangat yang besar tentang kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai kehidupan akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang benar dan membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah. Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia melalui upaya-upaya yang sistematis dan kolektif.



Kesadaran seperti itulah yang menyebabkan Dahlan sangat merasakan kemunduran ummat islam di tanah air. Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk membangunkan, menggerakkan dan memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban itu tidak mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi.

Untuk membangun upaya dakwah (seruan kepada ummat manusia) tersebut, maka Dahlan gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia. Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut. Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu'allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah). Dahlan mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya.

Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Ia dikenal sebagai salah seorang keturunan bangsawan yang menduduki jabatan sebagai Khatib Masjid Besar Yogyakarta yang mempunyai penghasilan yang cukup tinggi. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat.

Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad saw.


Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.

Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.

Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan mensiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kan,u wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).

Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.


Dalam bulan Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun mazhab baru di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan. Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan tafsir Qur'an baru, yang menurut kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan perkataan, "Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur'an dan Hadits. Umat Islam harus kembali kepada Qur'an dan Hadits. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir".

Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan duabelas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah Algemeene Vergadering (persidangan umum).

Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut :
1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.

2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan Islam.

3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.

4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan.

12 Hadits Lemah dan Palsu Seputar Ramadhan

12 Hadits Lemah dan Palsu Seputar Ramadhan

Posted: 11 Sep 2009 09:52 AM PDT

Islam adalah agama yang ilmiah. Setiap amalan, keyakinan, atau ajaran yang disandarkan kepada Islam harus memiliki dasar dari Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang otentik. Dengan ini, Islam tidak memberi celah kepada orang-orang yang beritikad buruk untuk menyusupkan pemikiran-pemikiran atau ajaran lain ke dalam ajaran Islam.

Karena pentingnya hal ini, tidak heran apabila Abdullah bin Mubarak rahimahullah mengatakan perkataan yang terkenal:

الإسناد من الدين، ولولا الإسناد؛ لقال من شاء ما شاء

“Sanad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada sanad, maka orang akan berkata semaunya.” (Lihat dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Juz I, halaman 12)

Dengan adanya sanad, suatu perkataan tentang ajaran Islam dapat ditelusuri asal-muasalnya.

Oleh karena itu, penting sekali bagi umat muslim untuk memilah hadits-hadits, antara yang shahih dan yang dhaif, agar diketahui amalan mana yang seharusnya diamalkan karena memang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam serta amalan mana yang tidak perlu dihiraukan karena tidak pernah diajarkan oleh beliau.

Berkaitan dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, akan kami sampaikan beberapa hadits lemah dan palsu mengenai puasa yang banyak tersebar di masyarakat. Untuk memudahkan pembaca, kami tidak menjelaskan sisi kelemahan hadits, namun hanya akan menyebutkan kesimpulan para pakar hadits yang menelitinya. Pembaca yang ingin menelusuri sisi kelemahan hadits, dapat merujuk pada kitab para ulama yang bersangkutan.

Hadits 1

صوموا تصحوا

“Berpuasalah, kalian akan sehat.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun Nabawi sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), oleh Ath Thabrani di Al Ausath (2/225), oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227).

Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadits ini maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).

Keterangan: jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini benar, namun tetap tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Hadits 2

نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ

“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437).

Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).

Terdapat juga riwayat yang lain:

الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه

“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).

Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.

Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.

Hadits 3

يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل الله صيامه فريضة ، و قيام ليله تطوعا ، و من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ، و من أدى فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه ، و هو شهر الصبر و الصبر ثوابه الجنة ، و شهر المواساة ، و شهر يزاد فيه رزق المؤمن ، و من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه ، و عتق رقبته من النار ، و كان له مثل أجره من غير أن ينتقص من أجره شيء قالوا : يا رسول الله ليس كلنا يجد ما يفطر الصائم ، قال : يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على مذقة لبن ، أو تمرة ، أو شربة من ماء ، و من أشبع صائما سقاه الله من الحوض شربة لايظمأ حتى يدخل الجنة ، و هو شهر أوله رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار ،

“Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1. 000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan, ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512), Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115)

Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110), bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini Munkar.

Yang benar, di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah:

من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه

“Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)

Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadhan saja.

Adapun mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap amalan sunnah kebaikan di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana amalan wajib, dan amalan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah wajib diluar bulan Ramadhan, keyakinan ini tidaklah benar berdasarkan hadits yang lemah ini. Walaupun keyakinan ini tidak benar, sesungguhnya Allah ta’ala melipatgandakan pahala amalan kebaikan berlipat ganda banyaknya, terutama ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Hadits 4

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم

“Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2358), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (4/1616), Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalam Badrul Munir (5/710)

Ibnu Hajar Al Asqalani berkata di Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341) : “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar (4/301), juga oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Dan doa dengan lafadz yang semisal, semua berkisar antara hadits lemah dan munkar.

Sedangkan doa berbuka puasa yang tersebar dimasyarakat dengan lafadz:

اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين

“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.”

Hadits ini tidak terdapat di kitab hadits manapun. Atau dengan kata lain, ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada asalnya, walau secara makna memang benar.”

Yang benar, doa berbuka puasa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terdapat dalam hadits:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:

ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/

(’Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni (2/401), dan dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232 juga oleh Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud.

Hadits 5

من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله

“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari di bulan Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di Sunannya (2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).

Hadits ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al Muhalla (6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif At Tirmidzi (723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah (4557). Namun, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini seperti Abu Hatim Ar Razi di Al Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329) dan Al Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171). Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak berpuasa.

Yang benar -wal ‘ilmu ‘indallah- adalah penjelasan Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa “Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa udzur syar’i,ia harus bertaubat kepada Allah dan mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.” (Periksa: Fatawa Lajnah Daimah no. 16480, 9/191)

Hadits 6

لا تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء الله تعالى ولكن قولوا شهر رمضان

“Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.’”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi dalam Mizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), Ibnu Katsir di Tafsir-nya (1/310).

Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu. Namun, yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).

Yang benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.

Hadits 7

أن شهر رمضان متعلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر

“Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fithri.”

Hadits ini disebutkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/157). Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib (664), dan Silsilah Ahadits Dhaifah (43).

Yang benar, jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak diterima jika belum membayar zakat fithri, keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri.

Hadits 8

رجب شهر الله ، وشعبان شهري ، ورمضان شهر أمتي

“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ibnu Asakir di Mu’jam Asy Syuyukh (1/186).

Hadits ini didhaifkan oleh di Asy Syaukani di Nailul Authar (4/334), dan Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (4400). Bahkan hadits ini dikatakan hadits palsu oleh banyak ulama seperti Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ash Shaghani dalam Al Maudhu’at (72), Ibnul Qayyim dalam Al Manaarul Munif (76), Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Tabyinul Ujab (20).

Hadits 9

من فطر صائما على طعام وشراب من حلال صلت عليه الملائكة في ساعات شهر رمضان وصلى عليه جبرائيل ليلة القدر

“Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadhan dan Jibril bershalawat kepadanya di malam lailatul qadar.”

Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/300), Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1441), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Adh Dhuafa (3/318), Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (1/152)

Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhuat (2/555), As Sakhawi dalam Maqasidul Hasanah (495), Al Albani dalam Dhaif At Targhib (654)

Yang benar,orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala puasa orang yang diberi hidangan tadi, berdasarkan hadits:

من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا

“Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.” (HR. At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan shahih”)

Hadits 10

رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : جهاد القلب

“Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda: “Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”

Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.

Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan hadits ini Munkar.

Hadits ini sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan, yaitu untuk mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih utama dari jihad berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak ada seorang pun ulama hadits yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi. Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan sunnah yang paling dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadits palsu ini pun tidak benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.

Hadits 11

قال وائلة : لقيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عيد فقلت : تقبل الله منا ومنك ، قال : نعم تقبل الله منا ومنك

“Wa’ilah berkata, “Aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari Ied, lalu aku berkata: Taqabbalallahu minna wa minka.” Beliau bersabda: “Ya, Taqabbalallahu minna wa minka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (2/319), Al Baihaqi dalam Sunan-nya (3/319), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (3/1246)

Hadits ini didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhuafa (7/524), oleh Ibnu Qaisirani dalam Dzakiratul Huffadz (4/1950), oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (5666).

Yang benar, ucapan ‘Taqabbalallahu Minna Wa Minka’ diucapkan sebagian sahabat berdasarkan sebuah riwayat:

كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض : تقبل الله منا ومنك

Artinya:
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika saling berjumpa di hari Ied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal ibadah saya dan amal ibadah Anda)”

Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Mughni (3/294), dishahihkan oleh Al Albani dalam Tamamul Minnah (354). Oleh karena itu, boleh mengamalkan ucapan ini, asalkan tidak diyakini sebagai hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Hadits 12

خمس تفطر الصائم ، وتنقض الوضوء : الكذب ، والغيبة ، والنميمة ، والنظر بالشهوة ، واليمين الفاجرة

“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani di Al Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131)

Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (1708).

Yang benar, lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala puasa. Sebagaimana hadits:

من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه

“Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, serta mengganggu orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.” (HR. Bukhari, no.6057)

Demikian, semoga Allah memberi kita taufiq untuk senantiasa berpegang teguh pada ajaran Islam yang sahih. Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat dan ampunannya kepada kita di bulan mulia ini. Semoga amal-ibadah di bulan suci ini kita berbuah pahala di sisi Rabbuna Jalla Sya’nuhu.

وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

***

Disusun oleh: Yulian Purnama
Muraja’ah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

PROBLEMATIKA HISAB DAN RUKYAH DALAM PENENTUAN AWAL RAMADHAN DAN SOLUSINYA DI INDONESIA

PROBLEMATIKA HISAB DAN RUKYAH DALAM PENENTUAN AWAL RAMADHAN DAN SOLUSINYA DI INDONESIA

PENDAHULUAN

Hampir setiap tahun kaum muslimin disibukkan dengan masalah “kapan memulai puasa dan kapan berhari raya?”. Para pemimpin dan pengurus ormas-ormas dan lembaga-lembaga Islam disibukkan berijtihad untuk memastikan kapan puasa dimulai dan berakhir, sementara masyarakat dibingungkan dengan berbagai keputusan yang dibuat oleh ormas-ormas dan lembaga-lembaga Islam yang terkadang keputusannya berbeda-beda.

Perbedaan awal Ramadhan sudah biasa terjadi. Namun tetap saja ada kekhawatiran dan keraguan bila terjadi perbedaan. Masyarakat umum belum sepenuhnya menyadari sumber perbedaan itu. Umat sering menuntut awal Ramadhan dipersatukan, minimal di Indonesia, syukur kalau di seluruh dunia. Kadang dengan sangat sederhana ada yang berargumentasi, “bulan satu dan matahari satu, bagaimana mungkin berbeda-beda awal Ramadhan atau hari rayanya”.

Namun sayangnya, tidak ada keharusan bagi masyarakat untuk mengikuti ketetapan pemerintah. Mereka boleh berpedoman kepada metode selain yang digunakan pemerintah. Sehingga, terjadi berbagai macam pendapat mengenai masuknya awal bulan. Karena beragamnya pendapat tersebut, juga akan berpengaruh kepada ibadah puasa itu sendiri.

Oleh karenannya, tinjauan fiqih dalam referensi lama perlu diperkaya lagi dengan memasukkan faktor-faktor mutakhir, termasuk analisis astronomis dan iptek yang tak terpisahkan. Masalah ijtihadiyah yang terus berkembang menambah faktor keragaman tersebut. Berangkat dari itu penulis akan membahas tentang problematika hisab dan rukyah dalam penentuan awal Ramadhan dan solusinya di Indonesia.


PEMBAHASAN


A. Penentuan Awal Ramadhan dengan Hisab dan Rukyah Menurut Fuqaha

Fuqaha telah sepakat bahwa bulan Arab berisi 29 atau 30 hari, dan bahwa yang dijadikan pertimbangan dalam penetapan bulan Ramadhan ialah rukyah (melihat bulan).[1] Sebagaimana sabda Nabi Saw:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِِهِ وَاَفْطِرُوْالِرُؤْيَنِهِ[2]

”Berpuasalah karena melihat bulan, dan berbukalah karena melihat bulan”.

Rukyah yang dipegang jumhur ulama berpegang pada nash hadits tersebut. Memang yang diwajibkan adalah berpuasanya, bukan rukyahnya. Namun karena perintah rukyah itu berkaitan dengan suatu hal yang bersifat wajib, maka perintah itupun menjadi wajib. Kemudiaan fuqaha berselisih pendapat tentang persoalan, apabila bulan tertutup oleh awan dan tidak mungkin dilakukan rukyah.[3]

Mengenai persoalan tertutupnya bulan, maka Jumhur fuqaha berpendapat bahwa dalam keadaan demikian bilangan bulan harus disempurnakan menjadi 30 hari, dan permulaan Ramadhan dimulai pada hari ke-31.[4]

Dan para fuqaha juga sepakat dengan satu kata bahwa seorang yang sendirian melihat hilal Ramadhan maka dia wajib berpuasa walaupun semua orang tidak berpuasa, sedangkan jika dia tidak berpuasa maka dia harus mengqadla dan kifarat.[5]

Sedangkan penentuan awal Ramadhan dengan hisab ulama berbeda pendapat. Sebagian mereka menyatakan bahwa penentuan awal Ramadhan tidak boleh dengan hisab. Mereka berpendapat bahwa satu-satunya penentuan awal Ramadhan hanya dengan rukyah atau menyempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari apabila langit tidak cerah.[6] Sedang sebagian yang lain menyatakan bahwa penentuan awal Ramadhan adalah dengan hisab disamping menggunakan rukyah. Diantara alasan mereka adalah bahwa hisab akan sangat diperlukan pada saat rukyah tidak dapat mengatasinya seperti keadaan orang yang berada dalam daerah abnormal.[7]

Silang pendapat ini disebabkan karena adanya ketidakjelasan pada sabda Nabi saw:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِِهِ وَاَفْطِرُوْالِرُؤْيَنِهِ فَإِنْغُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْالَهُ

”Berpuasalah kamu karena melihat bulan, dan berbukalah kamu karena melihat bulan, jika ternyata bulan tertutup atasmu, maka kira-kirakanlah.”

Jumhur fuqaha berpendapat bahwa kata-kata ”kira-kirakanlah” berarti ”sempurnakanlah bilangan menjadi 30 hari”. Ada pula fuqaha[8] yang berpendapat bahwa penafsirannya adalah ”kirakanlah dengan memakai hisab (perhitungan)”, dan hadits ini juga yang digunakan para ahli hisab sebagai dasarnya.[9]

Alasan jumhur fuqaha memegangi penafsiran tersebut adalah karena adanya hadits shahih Ibnu Abbas ra., bahwa Nabi Saw bersabda:

فَإِنْغُمَّ عَلَيْكُمْ فَاكْمِلُواالْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ

”Jika ternyata bulan tertutup atasmu, maka sempurnakanlah bilangan menjadi tiga puluh hari.”

Sementara itu Imam Abu al-Abbas Ibnu Suraij (306 H/918 M), seperti dikutip oleh Ibn al-’Arabi, mengajukan cara mengompromikan antara hadits-hadits yang menggunakan frase faqduru lahu (maka kadarkanlah ia) dengan hadits-hadits yang menggunakan frase fa akmilu al-’iddah (maka sempurnakanlah bilangan bulan itu) dengan mengatakan:

.....bahwa sesungguhnya sabda Nabi saw faqduru lahu merupakan khitab yang ditujukan pada orang-orang yang khusus memiliki kemampuan hisab, sedangkan sabda Nabi saw fa akmilu al-’iddah adalah yang ditujukan bagi masyarakat umum.[10]

Dalam hal ini, ahli fiqih menyimpulkan bahwa hadits ini menyiratkan satu tujuan dan menentukan cara (sarana) untuk mencapainya. Tujuan ini sangat jelas, yaitu perintah puasa sebulan penuh dan tidak boleh terlewatkan satu hari pun. Puasa itu dilakukan setelah adanya kepastian masuknya bulan Ramadhan dengan cara yang memungkinkan dan dapat dilakukan oleh banyak orang, yang tidak membebani dan memberatkan mereka dalam agama.[11]

Ulama-ulama terdahulu menolak hisab secara mutlak karena hisab masih tercampur aduk dengan ilmu nujum (astrologi, meramal nasib dengan bintang) dan juga karena akurasinya yang masih rendah, sehingga hasil hitungan antara ahli hisab satu dengan yang lain masih saling bertentangan, padahal fakta benda langitnya adalah satu. [12]


B. Penentuan Awal Ramadhan dengan Hisab dan Rukyah Menurut Astronomi / IPTEK

Iptek sesuai dengan watak dan pengalamannya selalu menilai dan mengukur segala sesuatu dari sisi akurasi dan kedekatannya dengan kenyataan. Oleh karena itu, wajar kalau iptek memandang rukyah sebagai sesuatu yang memiliki banyak kelemahan. Atas dasar penilaian tersebut, maka iptek berkeinginan untuk mengambil peran dalam hal penentuan awal Ramadhan sebagaimana yang telah dilakukannya selama ini dalam berbagai aspek kegiatan.[13]

Beberapa alternatif solusi iptek telah ditawarkan. Tawaran penggunaan ilmu hisab (perhitungan) dengan metodologi astronomi modern kini sudah diterapkan. Hampir semua ormas Islam memiliki ahli hisab yang menguasai perhitungan astronomi, tanpa meninggalkan kekayaan intelektual para ulama terdahulu yang mengembangkan metode sederhana ilmu hisab. Generasi mudanya kini banyak yang menguasai pemograman komputer sehingga sanggup mengembangkan sendiri program-program komputer, termasuk untuk metode klasik yang biasanya dilakukan secara manual. Namun ilmu hisab saja masih tetap belum menyelesaikan masalah. [14]

Hitungan hisab itu kini bisa diotomatisasi dengan pemrograman dalam komputer. Dengan demikian berbagai kesalahan manusia bisa dieliminasi.  Salah satu contoh program komputer yang khusus dikembangkan untuk hisab kalender Hijri adalah software (Mawaaqit) yang semula dikembangkan oleh Club astronomi Al-Farghani bersama ICMI Orsat Belanda dan kemudian dilanjutkan di Bakosurtanal.[15]
Hisab dipakai untuk memprediksi posisi, arah dan waktu untuk rukyatul hilal. Rukyah tetap dilakukan karena tetap akan ada faktor cuaca yang tak mungkin bisa dihisab. Sedang teknologi observasi dikembangkan untuk membantu rukyah agar terhindar dari salah atau untuk mengenali bulan sabit meskipun cahayanya masih lemah. Misalnya telah dikembangkan “teleskop rukyah”, yakni sensor (kamera) digital baik aktif maupun pasif yang citranya kemudian diperkuat dan bahkan juga telah dipikirkan untuk menggunakan platform pesawat terbang sehingga rukyah bisa dilakukan di atas awan. [16]

Perkembangan iptek seperti sekarang ini akan mempermudah manusia melihat (merukyah) dan atau menghitung (menghisab) suatu objek, baik posisinya maupun kandungan yang ada di dalamnya. Selain itu iptek juga merupakan salah satu alat efektif untuk penyempurnaan ibadah kita kepada Allah SWT. Rasulullah saw. Sendiri bersabda:[17]

“Barangsiapa menghendaki kebahagiaan di dunia maka raihlah dengan ilmu pengetahuan (iptek), dan Barangsiapa menghendaki kebahagiaan di akhirat maka raihlah dengan ilmu pengetahuan (iptek), dan barangsiapa menghendaki kebahagiaan kedua-duanya (dunia-akkhirat) maka raihlah dengan ilmu pengetahuan (iptek).”

Namun setelah ilmu pengetahuan mengalami kemajuan, pengertian tentang rukyatul hilal mengalami pergeseran. Ada yang memaknainya tetap seperti semula, yaitu rukyat bil fi’li dan ada yang memaknainya dengan rukyat bil’ilmi, yakni melihat hilal dengan ilmu pengetahuan atau hisab.[18] Sedangkan prinsip perhitungan antara hisab dan rukyah secara astronomi sesuatu yang melengkapi. Teori harus berdasarkan observasi dan observasi dilengkapi dengan teori sehingga sifatnya komplementari.[19]

C. Penentuan Awal Ramadhan dengan Hisab dan Rukyah Menurut Pemerintah / Depag

Dengan memperhatikan keadaan penentuan awal Ramadhan antara hisab dan rukyah, Departemen Agama berusaha memadukan sistem-sistem yang telah dipergunakan. Departemen Agama berusaha mengembangkan sistem rukyah yang berpadukan hisab, dan sistem hisab yang berpadukan rukyah / observasi. Hasilnya dalam banyak kasus perbedaan tersebut berhasil dihilangkan atau setidaknya terkurangi. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus perbedaan tersebut tidak dapat teratasi.[20]

Dalam hal ini pemerintah menggunakan imkan al-rukyah [21] atas dasar untuk mewadahi metode-metode yang digunakan oleh ormas-ormas yang ada di Indonesia. Dengan madzhab imkan al-rukyah dengan format kekuasaan itsbat pada pemerintah sebenarnya merupakan upaya yang lebih mempunyai peluang untuk dapat diterima oleh semu pihak. Upaya pemerintah ini pada dasarnya berpijak pada upaya tercapainya keseragaman, kemaslahatan, dan persatuan umat Islam Indonesia.[22]

Sehingga keputusan yang diambil pemerintah, yang berupaya mengakomodir semua madzhab, semestinya dapat diterima dan diikuti oleh semua pihak. Namun dalam dataran realitas, ternyata masing-masing pihak mengeluarkan keputusan sendiri-sendiri (mengenai perbedaan Pemerintah, Nahdlatul Ulama, dan Muhammdiyah), walaupun pada dasarnya mereka sudah menyatakan mengakui dan menerima upaya penyatuan pemerintah tersebut .[23]

Pemerintah hendaknya mencoba bermusyawarah serta mempertimbangkan semua masukan, baik hasil hisab maupun rukyah dengan metode imkan al-rukyahnya. Tetapi menurut penulis, fakta di lapangan tidak demikian, karena belum ada keseimbangan diantara hisab dan rukyah sehingga pemerintah cenderung memihak salah satu.
Hal inilah yang merupakan masuknya peran penguasa (pemerintah) dalam paradigm shift (pergeseran paradigma), tetapi pergeseran paradigma secara murni sesungguhnya belum pernah terjadi. Sebagaimana dalam tradisi keilmuan Islam pada umumnya, sering tidak terselesaikan secara murni ilmiah, tetapi diselesaikan oleh adanya intervensi politik atau dukungan dari faktor eksternal yang sering tidak rasional. Pergeseran paradigma yang demikian itulah yang dinamakan pergeseran-paradigma semu (pseudo paradigm-shift) yang menjadi tanda bagi adanya tirani ilmiah.[24]
Tirani ilmiah adalah besarnya peran penguasa dalam proses pergeseran paradigma suatu ilmu, sehingga persaingan paradigma tidak lagi berjalan secara ilmiah, tapi lebih banyak ditentukan oleh ada atau tidaknya dukungan dari penguasa. Akibatnya, munculnya paradigma terkuat dalam suatu ilmu bukan didasarkan pada ketangguhannya dalam mengatasi problematika umat, namun lebih disebabkan karena faktor keberuntungan karena adanya dukungan dari penguasa.[25]
Dalam masalah ini adalah pemerintah yang selalu tidak bisa memposisikan sebagai pihak yang netral dalam menyelesaikan perbedaan yang terjadi dalam tubuh ormas-ormas khususnya kelompok ahli hisab dan ahli rukyah, sehingga keputusan itsbat sering dipengaruhi oleh fanatik paradigma yang mereka anut.

 

D. Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan dalam Penentuan Awal Ramadhan

Dari uraian di muka, terlihat ada faktor teknis yang memungkinkan keragaman waktu ibadah.  Namun selain itu ada juga faktor fiqih dan faktor politis.  Dan ini bisa jadi justru lebih dominan.[26] Yaitu:
1.      Faktor Fiqh
Yang pertama klasik dipertentangkan orang adalah antara “rukyah bil fi’li (dengan mata telanjang) dan yang juga di-klaim sebagai “rukyat bil ‘ilmi” serta  pemahaman hadits yang berbeda-beda.
Di Indonesia hisab mutlak diwakili oleh Muhammadiyah dan Persis.  Kedua ormas ini tidak merasa perlu lagi melakukan rukyah, karena hisab dianggap cukup dan tidak lagi menyulitkan.  Sementara rukyah diwakili NU, walaupun sebenarnya NU juga memakai hisab, walau tetap harus disahkan rukyah. Setidaknya NU berani menolak rukyah yang dimustahilkan hisab..
Yang kedua masalah daerah berlaku rukyah, Menurut Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab Fiqh ‘ala al-Madzhahib al-Araba’ah, dari empat madzhab fiqih yang terkenal, tiga diantaranya (Hanafi, Maliki, Hambali) cenderung kepada rukyat global, yaitu bahwa suatu kesaksian rukyah berlaku untuk kaum muslimin di seluruh dunia. Sedang pengikut Imam Syafi’i condong kepada rukyah lokal yang hanya berlaku satu mathla’, yang kurang lebih radius 24 farsakh (kurang lebih 120 Km).[27] Dalam praktek batas mathla’ ini tidak jelas, sehingga lalu muncul wilayatul hukmi[28] yang pada akhirnya Indonesia menganut Prinsip ini. Tetapi dalam dataran empirisnya juga berbeda.
2.      Faktor Teknis
a.      Perbedaan di kalangan ahli hisab
Perbedaan di kalangan ahli hisab bermuara pada dua hal, pertama karena bermacam-macamnya sistem dan referensi hisab, dan kedua, karena berbeda-beda kriteria hasil hisab yang dijadikan pedoman.[29] 
v     Perbedaan Referensi dan sistem hisab tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3, yakni:
1). Hisab  Haqiqi Taqriby
Hisab taqriby menyediakan data dan sistem perhitungan posisi bulan dan matahari secara sederhana tanpa mempergunakan ilmu segita bola.
Adapun referensi yang di gunakan dalam hisab  ini adalah Tadzkirotul Ikhwan (Ahmad Dahlan as-Samaroni), Saulamun Nayyiroin (Muhammad Mansur al-Batawi), Fathurroufil Manan (Abdul Jalil Kudus), Syamsul Hilal (KH. Noor Ahmad SS).[30]
2).Hisab  Haqiqi Tahqiqi
Hisab  Tahqiqi menyajikan data dan sistem perhitungan dengan menggunakan kaidah-kaidah ilmu ukur segita bola.
Referensi yang digunakan dalam hisab ini adalah: Mathla’us Sa’id (Syekh Husain Zaid Mesir), Badi’atul Mitsal (KH. Muhammad Ma’sum Jombang), Khulashotul Wafiyah (KH. Zubair Umar al-Jailani Salatiga), Muntaha Nata’ijil Aqwal (KH. Ahmad Asy’ari Pasuruan), Hisab Hakiki (Muhammad Wardan), Nurul Anwar (KH. Noor Ahmad SS Jepara).[31]
 
 
 
3). Hisab Tahqiqi Kotemporer
Dalam hisab ini selain menggunakan kaidah-kaidah ilmu ukur segita bola, juga menggunakan data yang up to date sesuai dengan kemajuan sains dan teknologi.
Referensi yang digunakan dalam hisab ini adalah sistem Hisab Saadoeddin Djambek dengan Almanak Nautika, Jean Meeus dan Ephimeris Hisab Rukyat.[32] 
v      Perbedaan dalam menerapkan kriteria hasil hisab
Sebagian berpedoman pada ijtima’ qablal ghurub,[33] sebagian berpegangan pada posisi hilal di atas ufuq. Yang berpegang pada posisi hilal diatas ufuq juga berbeda-beda. Ada yang berpendapat pada wujudul hilal[34] diatas ufuq, dan ada yang berpedoman pada imkan al- rukyah 20 atau 50, semuanya ini dapat menimbulkan penetapan yang berbeda walaupun sama-sama menggunakan sistem dan referensi hisab yang sama.[35]
b.      Perbedaan di kalangan ahli rukyah
1)      Perbedaan mathla’
Di kalangan para ahli rukyah belum satu kata dalam menetapkan mathla’, tentang batasan wilayah berlakunya hasil rukyah suatu tempat. Ada yang menganggap hasil rukyah suatu tempat hanya berlaku untuk satu wilayah hukum (negara). Sebagian lagi yang berpendapat bahwa rukyah suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia.
2)      Mengenai rukyah bil fi’li menggunakan alat (nazhzharah)
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, Ibnu Hajar misalnya, tidak mengesahkan penggunaaan cara pemantulan melalui permukaan kaca atau air (nah mir’atain). Al-Syarwani lebih jauh menjelaskan bahwa penggunaan alat yang mendekatkan atau membesarkan seperti teleskop, air, ballur (benda yang berwarna putih seperti kaca) masih dianggap sebagai rukyah. Al-Muth’i menegaskan bahwa penggunaan alat optik (nazhzharah) sebagai penolong diizinkan karena yang melakukan penilaian terhadap hilal adalah mata perukyah sendiri.[36]                                                                                                                                                                                                                                                                                                      
3.      Faktor Politis
Dari sini kelihatan bahwa faktor fiqih dan teknis yang beraneka ragam itu harus disatukan, dan itu tidak bisa selain dengan suatu otoritas yang legitimate baik secara real politis maupun secara syar’i, yang akan mengadopsi salah satu pendapat yang argumentasinya paling kuat, entah dari segi fiqih maupun teknis rukyah/hisab. 
Keputusan ini lebih bersifat politis, karena memang yang dihadapi tidak lagi hukum atau teknis, tetapi masalah yang berkaitan dengan politik juga, yakni semangat kebangsaan (nasionalisme) sempit atau fanatisme golongan (sektarian) yang membuat orang memilih suatu pendapat bukan secara syar’i atau berdasarkan ilmu pengetahuan. [37]
 

E. Memecahkan Problema Hisab dan Rukyah dalam Penentuan Awal Ramadhan

Problema hisab dan rukyah tampaknya masih belum terselesaikan secara tuntas. Dalam masyarakat masih sering kita temui yaitu dua hari awal puasa atau bahkan lebih. Berangkat dari problem tersebut, termasuk beberapa penyebab terjadinya perbedaan yang telah penulis paparkan, di makalah ini penulis mempunyai sebuah tawaran solusi untuk memecahkan problem tersebut, yaitu:

  1. Teknis

Dalam solusi teknis ini penulis mengambil sebuah ide tentang bagaimana ketiga metode hisab (taqriby, tahqiqi dan kotemporer) itu bersatu dalam penentuan awal bulan khususnya awal Ramadhan, karena berdasarkan fenomena yang ada selama ini dan sejauh penulis membaca beberapa buku ilmu falak antara madzhab hisab itu sendiri belum ada kata satu untuk memecahkan problem perbedaan yang terjadi di masyarakat. Mereka (para ahli hisab) selama ini hanya mengunggulkan metode dan rumus mereka masing-masing dengan tujuan mengutamakan kepentingan mereka sendiri tanpa memperdulikan akibat dari perbedaan itu. Apalagi mereka para ahli hisab banyak yang mengeluarkan metode-metode baru yang mengakibatkan perbedaan itu malah semakin banyak dan tidak ada solusinya sama sekali.

Selain itu penulis melihat fakta (pengalaman) yang terjadi di lapangan sesama ahli hisabpun dalam menentukan kriteria saja sudah berbeda-beda, sehingga hasilnya pun berbeda-beda. Dan seperti dalam seminar Nasional hisab yang bertema Kajian Kitab Falak dan Software” di IAIN Walisongo Semarang, tanggal 7 November 2009 yang pernah penulis ikuti, bahwasannya sesama ahli hisabpun seperti Dr. Ing. H. Khafidz dan KH. Noor Ahmad, mereka dalam menggunakan metode perhitungan dan menanggapi hasil hisab juga belum menemukan titik temu sehingga terjadi perbedaan dan perdebatan, karena memang Dr. Ing. H. Khafidz metodenya juga lebih modern dibanding KH. Noor Ahmad.

Dan untuk ide penyatuan ketiga metode hisab (taqriby, tahqiqi dan kontemporer) penulis menyusun langkah-langkah untuk merealisasikannya sebagai berikut:

a. Setiap ormas Islam khususnya penganut madzhab hisab, perlu mengkaji ulang teori atau cara dan referensi yang digunakan dalam penentuan awal bulan tersebut khususnya Ramadhan, untuk memperoleh solusi terbaik.

b. Hilangkan prinsip bahwa metode kelompoknyalah yang paling shahih dan paling baik ataupun yang menang.

c. Mengadakan musyawarah yang terdiri dari tiga pihak ahli hisab (taqriby, tahqiqi dan kontemporer) dengan duduk bersama, guna menghasilkan kesepakatan dalam menetapkan awal bulan qamariyyah, terutama awal Ramadhan yang berorientasi kepada kemaslahatan umat dan aspek syari’ahnya. Dan mengenai data hisab mereka harus kerjasama dan berkonsultasi dengan instansi terkait seperti BMG, Dinas Hidrooseanografi, planetarium, observatorium bosscha ITB, dan lembaga-lembaga falakiyah.

d. Harus ada kesepakatan dan hasil tentang metode dan kriteria mana yang dianggap akurat sehingga layak dijadikan acuan.

e. Mengadakan sosialisasi kepada masyarakat tentang ketetapan metode dan kriteria yang digunakan. Seperti mengadakan seminar atau kegiatan pelatihan lainnya. Dan hendaknya seminar atau pun pelatihan itu ditujukan terlebih dahulu bagi mereka yang profesinya menekuni dunia ilmu falak dan, sehingga nantinya mereka bisa menjadi corong untuk menjelaskan kepada masyarakat awam dan masyarakat lainnya.

  1. Non teknis

Solusi non teknis ini, penulis menawarkan solusi tentang penyatuan ormas-ormas Islam baik dari kalangan hisab maupun rukyah, dalam hal ini pemerintah menjadi mediator dengan menggandeng MUI harus bisa lebih tegas dalam menyatukan perbedaan diantara mereka, kemudian pemerintah mencoba bermusyawarah dengan mempertimbangkan semua masukan, baik dari kelompok hisab maupun kelompok rukyah, sehingga akan menghasilkan sebuah keputusan yang benar-benar valid dan bisa diterima dan dilaksanakan oleh semua ormas Islam. Dengan demikian keputusan pemerintah tidak terkesan lemah dan condong memihak salah satu kelompok, serta akan terlihat citra kewibawaan dan kebijaksanaanya.

Misalnya, dalam hal ini, Pemerintah dengan metode imkan al-rukyahnya dalam penentuan awal Ramadhan juga harus dipertegas dan diseimbangkan antara hisab dan rukyah sehingga implementasinya di lapangan sesuai dengan yang diingankan oleh masyarakat. Akhirnya dalam sidang itsbat keputusannya bukan hanya diakui dan diterima tetapi harus dilaksanakan oleh masyarakat.

Dan untuk persatuan umat dalam hal sosial ini, kita harus merubah cara /pola berpikir dalam segala hal, khususnya masalah perbedaan penetapan awal bulan Ramadlan sehingga dalam masalah ini penulis meminjam teori dari Thomas Kuhn yaitu paradigm shift seperti yang tertuang dalam buku Pudarnya Pesona Ilmu Agama bahwa pemikiran Kuhn yang bisa dibilang radikal itu, mendapat tanggapan luas dari banyak kalangan. Sikap pro dan kontra bermunculan dari para ilmuwan. Tim Healy, misalnya, dari Santa Clara mengakui bahwa teori ”paradigm shift” memang benar. Semua bidang kehidupan, keilmuan, sosial, agama, dan lain-lain, terbukti mengalami paradigm shift. Bahkan menurut Healy, teori paradigm shift dapat dipakai untuk memahami segala persoalan hidup.[38]

Jadi, menurut penulis, tentang dua tawaran yang telah penulis uraikan itu merupakan implementasi dari paradigm shift yang mungkin bisa untuk disatukan dan dipadukan perbedaan-perbedaan paradigma yang terjadi diantara kelompok ahli hisab dan rukyah, sehingga inilah sebuah solusi yang selama ini kita tunggu dengan harapan diantara ahli hisab ataupun dalam kelompok rukyahpun tidak ada perbedaan.

Dan perlu diingat, bahwa dua tawaran solusi itu tidak memihak salah satu baik hisab maupun rukyah, tetapi penulis mencoba untuk memberikan solusi kepada keduanya dengan menggunakan dua metode yaitu teknis dan non teknis.


KESIMPULAN

Dari paparan di atas, bisa penulis simpulkan bahwa:

1. Baik hisab maupun rukyah merupakan dua aspek ilmu pengetahuan. Masing-masing menggunakan salah satu dari dua pilar ilmu pengetahuan dan teknologi modern, yaitu rasionalisme (digunakan dalam hisab) dan empirisme (digunakan dalam rukyah). Jadi, hisab dan rukyah merupakan seperti dua sisi mata uang ilmu pengetahuan yang tak terpisahkan.

2. Sebenarnya akar masalah perbedaan bukan hanya antara kalangan hisab dan rukyah, tetapi sesama metode hisab dan sesama metode rukyah.

3. Dan yang menjadi sumber utama dalam hal perbedaan ini adalah fanatik paradigma.

4. Hendaknya dalam hisab dan rukyah harus dipadukan dengan kemajuan teknologi modern sehingga menghasilkan solusi yang terbaik, sehingga kita tidak bertindak apriori terhadap perkembangan teknologi.

5. Bahwa antara hisab dan rukyah tidak perlu dipertentangkan lagi, karena berdasarkan solusi yang penulis tawarkan hendaknya perlu langkah lebih lanjut untuk merealisasikannya, khususnya kita sebagai calon praktisi ilmu falak harus bisa menjadi pioner untuk menghilangkan perdebatan yang terjadi selama ini.


REFERENSI

Al-Jaziri, Abdul Ar-Rahman,Kitab Fiqh ‘Ala Mazahibil ar-Ba’ah Juz 1, Beirut, Libanon: Dar al-Maktab al-‘Ilmiyah.

Azhari,Susiknan, Hisab dan Rukyah Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Deri Suyatma, ”Cara Penentuan awal dan Akhir Ramadhan” dalam internet website: http://mtsnurulazhar/wordpress.com/2008/08/29/cara-penentuan-awal-dan-akhir-ramadhan/, diakses tanggal 6 November 2009.

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, Jakarta: PT. Intermasa, 1993.

Djamaluddin, Thomas, Menggagas Fiqih Astronomi Tela’ah Hisab-rukyat dan pencarian Solusi Perbedaan Hari Raya, Bandung: Kaki Langit, 2005.

---------,“Wawasan”, dalam internet website: http://www.republika.co.id //koran/14.

Fanani, Muhyar. Pudarnya Pesona Ilmu Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Fahmi Amhar, ” Aspek Syar’I dan Iptek dalam Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal”, dalam internet website: http://wisnusudibjo-wordspress.com/2008/08/30/aspek-syara-dan-iptek-dalam-penentuan-awal-ramadhan-syawal/, diakses tanggal 7 November 2009.

---------, ”Pengantar Memahami Astronomi Rukyat Mencari Solusi Keseragaman Waktu-waktu Indah”, dalam internet website: http://us.click.yahoo.com/dpRusa/WUILAA/YQLSAA/TXW01B/TM, diakses tanggal 7 November 2009.

Imam Abi Husain Muslim Ibn al-Haj al-Qusyairi an-Nisaburi, Shahih Muslim Juz II, Beirur: Libanon.

Izzudin, Ahmad, Fiqih Hisab Rukyah Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Jakarta: Erlangga, 2007.

Khazin, Muhyidin, 99 Tanya Jawab Masalah Hisab dan Rukyah. Yogyakarta: Ramadhan Press, 2009.

Mughniyah, Muhaammad Jawad Fiqihal-Imam Ja’far as-Shadiqi. Jakarta: Lentera Basritama, 1996.

Ahmad, Noor SS, Makalah yang disampaikan dalam forum seminar Nasional Hisab: Kajian Kitab Falak dan Software di IAIN Walisongo Semarang, tanggal 7 November 2009.

Purnomo, Agus, Skripsi: Kontroversi antara Hisab dan Rukyat dalam Penentuan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal Menurut Hukum Islam. Ponorogo,…1995.

Qardhawi, Yusuf Pengantar Studi hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007.

Ruskanda, Farid, dkk, Rukyah Dengan Teknologi Upaya mencari Kesamaan Pandangan Tentang Penentuan Awal Ramadhan dan syawal. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Rusyd,Ibnu Tarjamah Bidayatul Mujtahid. Semarang: CV. Asy syifa’, 1990.

Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Pedoman Hisab Muhammadiyah. Yogyakarta: Majlis tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2009.





[1] Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatul Mujtahid, (Semarang: CV. Asy syifa’, 1990), hal. 588.

[2] Imam Abi Husain Muslim Ibn al-Haj al-Qusyairi an-Nisaburi, Shahih Muslim Juz II, (Beirut: Libanon), hal. 762.

[3] Ibnu Rusyd, Tarjamah…Ibid.,

[4] Ibid.

[5] Muhaammad Jawad Mughniyah, Fiqihal-Imam Ja’far as-Shadiqi, (Jakarta: Lentera Basritama, 1996), hal. 41.

[6]Agus Purnomo, Skripsi: Kontroversi antara Hisab dan Rukyat dalam Penentuan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal Menurut Hukum Islam, (Ponorogo,…1995), hal. 32.

[7] Ibid., 33.

[8] Diantara Fuqaha yang berpendapat demikian adalah: Mutharrif bin Abdillah (tabi’in) dan Ibnu Qutaibah (ahli Hadits). baca di Susiknan Azhari, Hisab dan Rukyah Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 57.

[9] Ibnu Rusyd, Terjemah..., hal. 589.

[10] Susiknan Azhari, Hisab dan Rukyah....hal. 57.

[11] Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi Hadits, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), hal. 227-228.

[12] Fahmi Amhar, ”Aspek Syar’I dan Iptek dalam Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal”, dalam internet website: http://wisnusudibjo-wordspress.com/2008/08/30/aspek-syara-dan-iptek-dalam-penentuan-awal-ramadhan-syawal/, diakses tanggal 7 November 2009.

[13] Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Intermasa, 1993), hal. 71.

[14] T. Djamaluddin, Menggagas Fiqih Astronomi Tela’ah Hisab-rukyat dan pencarian Solusi Perbedaan Hari Raya, (Bandung: Kaki Langit, 2005), hal. 65.

[15] Fahmi Amhar, ”Aspek Syar’I dan Iptek dalam Penentuan Awal Ramadhan.........

[16] Ibid.,

[17] Farid Ruskanda, dkk, Rukyah Dengan Teknologi Upaya mencari Kesamaan Pandangan Tentang Penentuan Awal Ramadhan dan syawal, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 60.

[18] Deri Suyatma, ”Cara Penentuan awal dan Akhir Ramadhan” dalam internet website:http://mtsnurulazhar/wordpress.com/2008/08/29/cara-penentuan-awal-dan-akhir-ramadhan/, diakses tanggal 6 November 2009.

[19] Thomas Djamaluddin, “Wawasan”, dalam internet website: http://www.republika.co.id//koran/diakses tanggal 6 November 2009.

[20] Farid ruskanda, dkk, Rukyah dengan Teknologi...,hal. 79.

[21] Yaitu kemungkinan hilal dapat dirukyah atau batas minimal hilal dapat dirukyat yaitu 20. baca di Muhyidin Khazin, 99 Tanya Jawab Masalah Hisab dan Rukyah, (Yogyakarta: Ramadhan Press, 2009), hal. 72.

[22] Ahmad Izzudin, Fiqih Hisab Rukyah Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, (Jakarta: Erlangga, 2007), hal. 151.

[23] Ibid.,

[24] Muhyar Fanani, Pudarnya Pesona Ilmu Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 48.

[25] Ibid., hal.xxxi

[26] Fahmi Amhar, ”Pengantar Memahami Astronomi Rukyat Mencari Solusi Keseragaman Waktu-waktu Indah”, dalam internet website: http://us.click.yahoo.com/ dpRusa/WUILAA/YQLSAA/TXW01B/TM, diakses tanggal 7 November 2009.

[27] Abdul Ar-Rahman al-Jaziri,Kitab Fiqh ‘Ala Mazahibil ar-Ba’ah Juz 1, (Beirut, Libanon: Dar al-Maktab al-‘Ilmiyah), hal. 500.

[28] Yaitu bahwa bila hilal terlihat di mana pun di wilayah wawasan Nusantara, dianggap berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Konsekuensinya, meskipun wilayah kita dilewati oleh garis penanggalan Islam Internasional yang secara teknis berarti bahwa wilayah Indonesia terbagi atas dua bagian yang mempunyai tanggal hijriyah yang berbeda, penduduk melaksanakan puasa secara serentak..lihat di Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab dan Rukyah...hal. 19.

[29] T. Djamaluddin, Menggagas Fiqih Astronomi...,.hal. 11.

[30] KH. Ahmad Noor SS, Makalah yang disampaikan dalam forum seminar Nasional Hisab: Kajian Kitab Falak dan Software di IAIN Walisongo Semarang, tanggal 7 November 2009.

[31] Ibid.,

[32] Ibid.,

[33] Kriteria ini menentukan bahwa apabila ijtima’ terjadi sebelum matahari tenggelam, maka malam itu dan esok harinya adalah bulan baru, dan apabila ijtima’ terjadi sesudah matahari terbenam, maka malam itu dan esok harinya adalah penggenap bulan berjalan, dan bulan baru dimulai lusa. Penganut hisab ini memulai hari sejak saat matahari terbenam, dan hisab ini tidak mempertimbangkan apakah pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk atau di bawah ufuk. Lihat Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah (Yogyakarta: Majlis tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2009), hal.22.

[34] Yaitu awal ramadhan ditetapkan berdasarkan hisab asalkan posisi hilal berada diatas ufuk berapapun derajat tingginya, walaupun kurang dari 0,5 derajat, yang penting hilal sudah wujud. (lihat di Departemen Agama RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya…)

[35] (Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, 2004), 9.

[36]Ahmad Izzudin, op.cit., 6-7.

[37] Fahmi Amhar, loc.cit.

[38] Muhyar fanani, Pudarnya Pesona Ilmu Agama……hal. 35